Senin, 30 Desember 2013

Kapan Waktu yang Tepat untuk Melupamu?

Aku mengingatmu subuh tadi
Saat surya belum nampak
dan udara memeluk seerat nadi
Memanggil percakapan yang terbalas dengan serak
Di pintu yang penuh karat
Kita yang satu sekarat

Aku menjengukmu pagi tadi
Ketika celah cahaya jatuh di tempat tidur
menggulung suara yang pelan mati
Rindu tak sanggup gugur
Sementara kita bukan kita lagi
Mengernyit hati sebab dua dulu
tinggal aku dan kamu satu satu

Aku mencoba abai siang tadi
Setelah matahari yang sepenggalah
Menyurutkan langkah
Mengikuti hati
Sampai jarum matahari menusuk
Membuyarkan kenangan yang tersusun rapi
Pecah ia berserakan di ubin putih
Merah berdarah sampaikan luka
Basah bernanah akhirnya pasrah

Aku, sekali lagi, mengingatmu sore tadi
Kau jatuh di sampingku
Di bibir pantai yang beku
Melupa hujan yang singgah di anak rambutmu
Sebelum di dekat matamu ia luruh
Sementara badai tak berhenti di sini
Buram inderaku menangkap wujud
yang sebabnya aku pernah lama bersujud

Lalu mungkinkah aku alpa malam ini?
Ketika lilin di sudut kamarku mulai redup
Dan hujan pelan berhenti
Aku menunggu pesanmu dalam gugup
Memutar piringan hitam yang tak pernah usai
di kepalaku dalam diam

Maka beritahu aku, kapan waktu yang tepat untuk melupamu?

Jumat, 27 Desember 2013

Surat Cinta yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca (3)

Kepada Lelaki yang Bunganya Tak Pernah Sampai


Apa kabar? Baik-baikkah? Seharusnya begitu. Harus seperti itu. Tak usah menduga-duga siapa yang begitu lancang menulis ini. Hingga aku mengirim ini pun, aku tak sadar iblis mana yang sedang lewat di kepalaku. Delapan lagu yang dihimpun dalam Prospekt's March mungkin mengetuk lagi pintu ingatanku. Kau tahu, aku tak pandai melupakan. Pun tak pandai mendendam. Tenang saja. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Tak ada. Sebab tak ada yang bisa mencegahku selalu mendekam, di situ, di pelukanmu yang dalam, kala itu. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Kemudian aku berpikir, setelah hampir tiga kali tiga enam lima, aku bisa sedikit jujur. Bukankah yang kita anggap sakit, setelah digerus waktu, itu akan lebih bisa melahirkan tawa? Dan ya, aku hanya terlalu pintar memendam. Sehingga bahagia sempat kuregang.

Adalah kesalahan, menerima pernyataan ketika diliputi kesendirian. Adalah kesalahan, mendekatkan rasa yang tak sempat berkenalan. Adalah kesalahan, memberi segala pada yang tak punya rasa bersalah. Bukan ikhlas, tapi pasrah. Adalah ketegaran, menyaksikan waktu yang dipermainkan. Adalah ketegaran, bertahan ketika tak dipertahankan. Adalah ketegaran, melepaskan ketika hati belum diselesaikan. Bukan tak rela, hanya terlalu sakit.

Aku selalu berkata pada hati yang tak pernah berhati-hati ini, kau hanya orang baik yang kebetulan singgah. Jauh di dalamnya, aku berusaha pulih, sebab sakit yang terlalu parah. Pada akhirnya, kau juga yang menyembuhkan.

Tak ada yang salah sebenarnya. Seharusnya. Kita, terlalu-ku, dan alasanmu. Tak ada yang salah. Tapi bagaimana kau menyembunyikan orang lain di balik alasanmu, aku sungguh bertepuk tangan. Pada akhirnya, bukankah itu sesuai dengan janji kita? Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat. Kita berdua hanya pion-pion catur yang dimainkan tangan-tangan. Dan orang-orang terdekatmu adalah tuhan. Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat.

Aku tak akan minta maaf. Bahkan aku tak akan meminta maaf karena tak meminta maaf. Sebab aku terlanjur merendah, hanya menyisakan sedikit jarak dengan tanah. Kepalaku, kau tahu. Di tempat kau selalu kupuja kemudian kucaci. Di tempat kau menaruh cinta kemudian benci. Di tempat yang pada akhirnya dengan hidup aku berdamai.

Sungguh aku berdamai. Sehingga aku berterima kasih. Untuk setiap detik, untuk setiap titik. Di waktu dan tempat yang dijejaki kenangan, pada berlembar foto yang pada akhirnya terbuang, dan lagu yang pintar bercerita. Terima kasih. Untuk mengajariku tentang tegar, tentang sabar. Tentang jalan menuju puncak... Aku sungguh berterima kasih untuk ini.

Bagaimanapun, kita hanya berlembar-lembar kertas usang. Pada akhirnya termakan waktu yang lancang. Dengan apa itu terganti, tak ada yang tahu. Belum ada yang tahu.

Tapi aku berduka sungguh, untuk apapun yang membuat hidupmu sesaat keruh. Sakitmu, kecewamu...

Maka kumohon, Berbahagialah. Tetaplah bahagia. Tak perlu lagi keningmu, yang bahkan dalam tidur, berkerut. Berbahagialah. Tetaplah bahagia, Serupa tawa lepas anak-anak yang tak pernah surut.




Salam, 
Yang pernah menulis berlembar-lembar cerita bersamamu

Sabtu, 14 Desember 2013

Tuan, Pesan Ini Untuknya

Temui ia dan sampaikan salamku...
Salam terdalam dari hati yang meradang,
makin kelam dalam petang,
hingga lelap di pelukan malam.

Temui ia dan katakan padanya…
bagaimana sesal mencabik,
hingga mencekik,
dulu… ketika peluk terganti doa.

Temui ia dan ceritakan padanya..
bagaimana rindu menjadi biru,
makin sendu dalam subuh yang meng-alu,
hingga menunggu menjadi abu.
Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana mengkulduskan melodinya,
mensucikan tuts-tutsnya,
menunggu untuk bernyanyi berdua.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana derai seperti rintik,
pelan biar tak terdengar,
tak terdengar biar tak terluka.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana isak yang menyesak,
sunyi namun pedih…

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana duduk menikmati gambar begitu mengasyikkan,
hingga kawan menepuk pundak dan menyadarkan,
berlama-lama dalam lampau itu menyedihkan.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana harapan itu terbang,
ketika dua sosok hanya terhenti dalam mengenang,
diam… lalu saling melambaikan tangan.

Temui ia dan ceritakan padanya…
sakitnya menonton film sedih,
yang tak jernih terputar dalam kini.
Meski terulang, berharap akhir cerita yang berbeda.

Temui ia dan ceritakan padanya…
ingin yang meledak,
ingin yang memeluk,
ingin yang mengikat…

Kemudian temui ia dan katakan padanya…
betapa inginnya kaki bertahan,
dalam tegar.
Bukan cobaan, hanya waktu yang terlalu lama.
Lalu katakan padanya…
menyerahku dalam lelahku,
ketika tak kunjung kembali peluk itu,
ketika tak jua abadi lingkaran di kalender kami.
Dan sampaikan salamku…
salam indah seperti doa,
dari hati yang mencoba putih.
Dan katakan padanya…
temui aku dalam senyum,
di mimpiku selanjutnya.
Biar kulambaikan tangan sekali lagi,
kemudian akan kujabat tangannya lagi,
sebelum aku berbalik lagi,
berikhtiar lagi…
Juga ceritakan padanya…
aku berbisik padamu,
"Sayang, itu lembaran hitam putihku. Kini, kita tak sekedar dua warna."

Sabtu, 07 Desember 2013

Percakapan Siang

"Kesamaan antara dua orang tidak membuat mereka berjodoh."

Siang itu biasa saja sebetulnya, sampai seorang sahabat membuat pernyataan lewat sambungan maya di rentang ribuan kilo.
"Kamu sama dia aja. Kalian banyak kesamaan. Sama sama suka nulis... blablabla."

Sebelumnya, sempat terjadi percakapan lain di antara saya dan sahabat lainnya. Ketika seseorang menyukaiku dan saya berkata bahwa saya takut jatuh kepadanya, ia membalasnya dengan sekian kata; tentang kami yang sama.

Kalimat "kita diciptakan beda beda, biar bisa saling melengkapi" ini sudah terlalu umum disampaikan ketika seseorang mengeluh tentang bagaimana orang yang dikenalnya begitu berbeda dalam beberapa hal. Tapi, untuk setiap perbedaan, mungkin akan dibayar mahal oleh yang acap mengalah. Sementara ego seseorang kadang membunuh hal yang sudah dibangun sejak lama. Atau ketika diskusi berubah menjadi debat dan tak berakhir dalam dekap, apa yang bisa diberi seorang kalap lewat pikiran yang terlanjur gelap? Sampai kemudian itu berakhir, yang tinggal semata sesal.

Dan tentang kesamaan, bagaimana jika sepuluh tahun kemudian tak ada lagi hal hal yang bisa dibagi, sebab dua orang yang telah saling mengetahui? Apa yang tersisa di jeda sebelum salah satu menarik selimut selain tempat tidur, pelukan, atau ciuman? Atau ketika cerita yang bisa ditukar tinggal tentang kenangan yang diperjualbelikan? Akhirnya, beda hanya perkara kelamin yang lain eja.

"Apa yang kucari adalah cerita... tentang segala catatan dalam kata, nada, dan jejak langkah. Tapi, Tuhan tahu yang kubutuhkan pada akhirnya adalah jannah."

 

Rabu, 04 Desember 2013

Kisah Sebuah Sesal (Bagian 1) : Bertemu Matamu

"Dua puluh tahun dari sekarang, kita akan lebih menyesal atas apa yang tidak pernah kita lakukan, bukan atas apa yang kita lakukan walaupun itu adalah kesalahan." -- Tere Liye dalam Moga Bunda Disayang Allah

Aku yakin seorang Tere Liye bukanlah yang pertama yang berpikir demikian. Hanya saja, tetiba aku baru menyadari arti kalimat itu tepat ketika aku baru selesai menghabiskan lembaran kata-katanya. Dan ternyata aku tak perlu menunggu dua puluh tahun untuk mencicipi penyesalan.

****

Aku baru melangkahkan kaki keluar dari mobil biru yang kutumpangi bersama lima orang asing di dalamnya. Satu-satunya yang kulihat adalah deretan manusia berbaju biru yang kubayangkan sedang menyambut tamu agung. Mereka berpakaian sangat rapi, setelan jas berwarana biru terang dengan sepatu pantofel hitam mengkilat, ditambah lagi baret biru gelap yang entah apakah betul-betul bisa melindungi otak mereka dengan baik di terik pagi. Terkejutnya aku, ternyata tamu agung yang sempat kupikirkan tadi, salah satunya adalah aku—seorang pelajar yang baru saja mengantongi ijazah SMP dari daerah antah berantah—dan beberapa orang yang kelihatannya sebaya denganku, tapi jelas terlihat berbeda. Tentu saja, mereka memang pantas kupikirkan sebagai tamu agung—turun dari mobil berplat hitam yang ketika kau buka pintunya, aroma parfum yang menyengat akan seketika melumpuhkan indera penciumanmu selama sepuluh detik.

Aku dan beberapa orang yang sepertinya berasal dari daerah yang sama mulai berjalan meninggalkan gerbang megah. Oh iya, aku baru menyadari itu tepat ketika penciumanku kembali normal setelah beberapa pintu mobil berplat hitam itu memamerkan aromanya. Gapura tinggi berwarna putih dengan ornamen-ornamen yang sederhana, tapi terlihat classy, seakan ingin mewakili segala apa di dalamnya. Pelan, kami menuju sebuah aula besar. Samar-samar kulihat sudah banyak orang yang mengisi kursi-kursi di dalamnya. Perkiraanku lagi-lagi benar. Gapura di depan tadi cukup membuat orang awam bisa menebak bagaimana keadaan di dalam pagar setinggi dua meter yang mengelilingi tanah luas ini. Aula ini mungkin bisa memanjakan seribu pasang mata untuk setiap desain yang bisa dibilang sangat mendetail. Warna dindingnya yang coklat muda seakan menarik garis lurus dengan kusen-kusen jendela besar yang terbuat dari kayu yang kokoh. Langit-langitnya yang tinggi seperti congkak memamerkan adidayanya menaungi kesombongan-kesombongan manusia di bawahnya. Aku cepat saja kembali ke keriuhan setelah sibuk mengamati setiap detail aula ini. Kupilih tempat duduk di samping seorang perempuan berambut pendek. Ia hanya memanfaatkan rambutnya untuk menutupi tengkuknya kupikir. Ia terlihat ramah dibalut wajahnya yang putih.

“Halo…” sapanya halus.

“Hai… tak apa jika aku duduk di sini?” tanyaku yang spontan dijawabnya dengan anggukan sambil menepuk kursi di sebelahnya.

“Aku Rani. Namamu siapa?” kemudian percakapan tak penting mengisi dua jam kami di sela-sela suara entah siapa lewat pengeras suara jauh di depan kami.

Hal yang paling kubenci adalah berjalan melewati ramainya suara. Aku selalu merasa langkahku pincang, pandanganku bekunang-kunang, hingga akhirnya aku serasa mau pingsan. Kali ini pun sama. Aku mengutuk siapapun itu yang mengharuskanku mengambil sesuatu di depan sana. Jarak meja yang kutuju tak cukup seratus langkah, tapi aku merasa telah berjalan sejauh lelah. Ketika berbalik, itu adalah cobaan yang tak lebih sedikit. Menghadapi mata-mata yang seakan memicing, aku bertemu matanya yang bening. Ini mungkin bukan pertama kalinya aku melihat aku di mata seseorang, tapi bagaimana matanya yang jurang menarikku dalam, ini jelas kali pertama. Ia adalah hening yang sempurna, bergeming pasrah di sisi huru hara. Sampai ia tepat di samping kananku, matanya tak hanya berhasil jatuh di pupilku, tapi juga di jantungku.

****

Ia duduk tepat di seberangku. Ia yang kukenal adalah sebuah beku yang lumer lewat debat-debat di dalam kelas. Juga bisu yang biru di jam-jam istirahat. Dan kami adalah pertengkaran soal siapa yang lebih hebat; dalam buku, dalam lagu, dalam guru. Hanya itu.

“Kau akan pulang?” Hanya ada aku di dalam kelas, menghabiskan buku Da Vinci Code yang baru beberapa hari kupinjam dari seorang guru. Tentu ia berbicara padaku. Untuk pertama kali. Untuk sebuah pertanyaan di luar perdebatan tentang pelajaran. Ia berdiri sejarak satu deret kursi di depanku. Tangannya memegang sandaran kursi dengan kuat sampai jarinya memutih, seakan tanpa itu ia akan roboh ke lantai. Matanya tepat menatapku dengan alis yang hampir segaris menunggu jawaban. Bibirnya terkatup rapat seperti menahan kata-kata yang sudah di ujung lidah.

“Iya.” Jawabku pendek. Setelah tiga bulan tanpa komunikasi dengan dunia, aku merasa butuh keramaian keluarga. Tentu saja aku akan menjemput itu. Pulang adalah satu-satunya hal yang penuh di kepalaku, selain ratusan soal matematika yang akan jadi pekerjaan rumah yang benar-benar mengerjaiku.

“Kupikir aku butuh nomor ponselmu. Hanya sekadar jaga-jaga kalau aku butuh bantuan untuk PR Matematika itu.” Ia masih beku di tempatnya. Sama sekali tanpa gerakan, selain bibirnya yang berucap.

“Aku khawatir tak bisa membantumu kali ini. Aku bahkan tak berkeinginan untuk memiliki sebuah ponsel.”

Kulihat ia mengernyit, menarik napas dalam lalu menghempaskannya terburu. Ia berbalik. Dua detik saja. Lalu berbalik lagi, berjalan dengan langkah lebar ke arahku. Tepat di depan mejaku, matanya menatap lantai. Tangannya terjatuh begitu saja di sisi badannya. Aku sedikit bergidik dengan kesunyian ini. Aku merasa mendengar detak jantungku sendiri, atau mungkin juga miliknya, sebab ia terlampau dekat. Tak pernah sedekat ini sebelumnya. Aku sibuk meredakan darah yang naik ke wajahku. Sementara waktu tak sempat kuhitung lagi. Tak ada yang kuharapkan dari kondisi ini, entah sebuah keromantisan atau penyelamatan. Sebab hatiku mulai tak peduli tentang seberapa sesak waktu yang lewat, hanya butuh ini bertahan lebih lama. Ia mengangkat wajahnya. Sekali lagi, aku merasa matanya lancang menelanjangi mataku.

“Aku tak mau merasa sekarat. Berikan saja aku obat. Di mana aku bisa menghubungimu?” Ia berbisik. Aku hampir tak bisa mendengar suaranya. Sementara aku ingin memastikan apa yang sempat ditangkap telingaku itu bukan suara pikiranku saja, aku sudah menulis beberapa angka di kertas paling belakang buku pelajaran yang kurobek sembarang. Ia mengambilnya, lalu berlalu pergi tanpa suara.

****
(to be continued)


“Matamu ialah jurang yang di dalamnya aku rela jatuh.”

Jumat, 29 November 2013

Ketika Kau Berbalik Pergi

Aku khawatir pada mataku
Ia tak lagi menjumpaimu
dalam dua retina yang memalu;
Sebuah hulu yang bermuara pada ragu

Aku khawatir pada telingaku
Ia tak lagi menyimakmu
dalam sendu lagu-lagu
tentang cinta dan rindu

Aku khawatir pada mulutku
Ia takut pada sebuah kaku
ketika yang kuucap harus namamu
dalam serakahnya doa di awal subuh

Aku khawatir pada hidungku
Ia yang mulai terbiasa pada bau
rindu di awal minggu
Yang tak habis hingga sabtu

Aku khawatir pada kulitku
Meranggas tanpa kamu
dan sepaket peluk
di malam rabu

Aku khawatir pada aku
Sekarat di ujung waktu
ketika kata berlomba keluar dari saku
Lalu berserakan di lantai, jatuh

Aku khawatir pada hatiku
sakitnya menghunjam sampai ke ulu
saat yang kulihat hanya punggungmu
ternyata aku baik-baik saja... ketika itu.

Minggu, 24 November 2013

Surat Cinta (?) yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca (2)

Aku menulis ini sembari bertanya, mungkinkah ini murni putusan Tuhan, atau hanya harga yang harus kubayar untuk banyak pengandaian? Tapi kemudian cahaya yang pagi ini membanjiri rumahku, yang melahap habis semua gigil sebab sakit, ia berbaik hati menarik paksa pikiran yang terlalu lama bermimpi. Bagaimana kita memulai dan menjalani ini, serupa anak kecil di taman bermain yang dipaksa untuk mencoba segala permainan. Rasa ingin tahumu terlalu besar, apakah kau sadar? Aku bahkan telah menelanjangi hidup jauh sebelum kau memintaku menunggu, tepat di depan dua mata yang selalu berhasil membuat aku memuja. Dan pupil matamu yang membesar, terus saja membuatku ingin meludahimu dengan semua cerita. Kau tahu betul cara membuatku rela melakukan persalinan kata, dan iya, aku tak perlu mengedan hebat untuk tetap berbicara. Di depanmu, bercerita adalah naluriku. Di depanmu, pandangan adalah caramu.

Aku menulis ini sembari merangkai segala percakapan, merangkumnya dalam silsilah. Tentang jarak yang tak juga masuk dalam lipatan, aku selalu ingin marah. Kemudian waktu semakin lancang meninggalkan, hingga dadaku serasa mau pecah. Aku seperti orang bodoh yang berdiri di depan jarum jam; menghidupkan detik, pun mematikan harap. Setiap pertemuan yang tak hanya sisakan sejarah, membuatku ingin menyerah. Rindu tak pernah selesai, dan kita ada di pintu berai.

Aku menulis ini dalam ketegaran yang dibuat-buat. Sesuatu di pikiranku selalu memaksaku menjadi kuat. Tapi, di sini, pada sesuatu yang bersarang jauh terlindung oleh rusukku, aku memberontak hebat. Tulang-tulangku seakan rontok, meniadakan penopang hingga harus aku tersungkur; di atas tanah yang seharusnya kau lewati nanti, di bawah langit yang seharusnya teduhkan perhelatan hati.

Aku menulis ini dalam sakit, merunut banyak hal yang akan masuk bagian kenangan; garis wajahmu, mata yang teduh... aku bahkan tak bisa menolak untuk membayangkan bagaimana bibirmu bercerita tentang mimpi yang di dalamnya kau membawaku. Aku menghitung setiap jalan yang sempat bertemu dengan kaki kita, dari utara ke selatan, hingga tempat-tempat yang sempat menjadi persinggahan. Aku memutar kembali rekaman ingatan tentang empat kali subuh bersamamu. Aku mencoba mengingat film-film yang selalu menjadi sebab kita berdebat, hingga bagaimana ia juga menjadi sebab untuk sebuah dekap. Dan tentang segala hal kecil dalam kehidupanku selama dua minggu yang berkali-kali, demi apapun, selalu ingin kuabadikan; bagaimana kita mencuri genggaman di antara kendaraan, atau tentang pertengkaran kecil di tempat parkir, atau tentang jari-jari tanganku yang selalu sakit, atau ratusan lagu yang kemudian terabaikan... dan tentang bagaimana kau menenangkan, bagaimana kau bersabar, bagaimana kau mengalah, bagaimana kau berusaha menjadi pantas... hingga bagaimana surat ini akan berakhir.

Aku menulis ini sekaligus bertanya; sesulit itukah mengamini inginku? Kemudian otakku menjawab, mungkin kau yang tak pernah benar-benar menginginkanku.

Aku menulis ini, sayangnya, masih penuh cinta, untukmu. Denganmu, aku berhasil menundukkan rindu untuk beberapa periode yang tak terhitung. Bersamamu, aku sukses membuat film paling rumit dalam hidupku sejauh ini. Tak ada harapan lagi yang pantas kubicarakan. Kau sudah (seharusnya) mengerti lewat percakapan-percakapan kita yang telah lalu. Hanya saja, dari sekian harapan yang sempat kita tukar, aku menukar yang ini dengan permintaan maaf... sebab masih menyayangimu.


"Berbahagialah, untuk (si)apapun di luar sana. Kita adalah dua orang yang masih dengan sungguh meyakini rencana Tuhan yang paling sempurna, dan tetaplah seperti itu hingga nanti kita bersua lagi; entah untuk berjabat tangan ringan sambil bertanya kabar, atau untuk bersalaman dalam debar."





Di suatu tempat yang mungkin tak akan pernah kau singgahi, 22 Agustus 2013

Jumat, 22 November 2013

Surat Cinta yang Terlambat

Aku menulis ini sekitar dua jam setelah namamu tertulis indah di layar ponselku. Betapa aku merindukan hal kecil seperti itu, tuan. Tapi, hati masih terus gamang. Ada yang membekas di goyahnya perlakuan.
Terlalu gelap di sini, tuan. Apa yang nampak hanya hitam jalanan. Beberapa kali cahaya mengagetkan, sekelebat saja, sampai satu satunya sinar adalah apa yang tepat di depan. Aku berharap kau tidak membaca catatanku seperti itu. Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, duduk ramah di depan rumah, sesekali tersenyum pada mereka yang lewat, sembari menatap angin menggoyangkan dedaunan pelan. Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, melepas penat tanpa perlu bersusah, dengan catatan ini di depan mata.
Tuan, bagaimana cara menjelaskan ini? Tentang rasa yang tak kunjung mati, tapi dipaksa pergi? Bagaimana aku merelakan waktu yang terbuang dengan ingatan yang tak pernah tenggelam? Aku berharap pada hari ini. Pada hari yang selalu tak pernah alpa mengingatkan kita. Ia yang akan mencari tahu di sepersekian bagian hatimu, adakah ingin untuk mengamini inginku? Di satu purnama setelah ini, adakah kita masih bernama di sini? Suatu hari, tuan, hari seperti ini akan memberiku jawaban. Lewat hari yang acap mengubah rupa, semoga kau pun menolak lupa.
Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, mengucapkan selamat tinggal pada setiap duka, dan membentuk pelangimu sendiri di antara udara. Sementara aku bertanya tanya, adakah kau membuka pelan pelan mimpi yang sempat akrab di belakang? Atau aku lancang menebak tentang arah jarum jam yang sempat kau sebut rahmat? Untuk doamu, tuan, ada hangat yang ditindih sujudku dalam aamiin. Maka, berbahagialah. Aku menyumpahimu dengan cinta yang tumpah, berbahagialah.


Di suatu tempat antara Palu-Luwuk, 22 Juli 2013

Kamis, 21 November 2013

Ssttt! Ini Rahasia

Jika ini adalah rahasia
kan kubisikkan ini 
tepat di telinga dunia
dan tak lenyap oleh pagi

Jika ini adalah rahasia
biarkan satu yang indah
kulisankan di bening mata
yang selalu membuatku kalah

Jika ini adalah rahasia
kujejalkan ribuan lagu
lewat jemariku yang lugu
nada yang mengantar setia

Tapi, biarkan kini tak lagi jadi rahasia
dan dengarkan ini baik baik:
Aku mencinta(i)...
              kau dan musik(mu)

Senin, 18 November 2013

Surat Cinta yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca

Dear, Tuan berbaju merah...

Malam itu aku tak sedang mengharapkan sebuah lagu, pun satu pertemuan yang terburu. Malam itu aku hanya tahu lima detik ketika yang berhenti adalah waktu. Malam itu, Tuan, aku ingin berjaga pada setiap pikiran dunia bahwa waktu terus berjalan. Sebab lima detik itu, Tuan, duniaku stagnan. Diam menelusur ujung matamu lewat retinaku yang salah jalur.

Malam itu aku tak sedang membayangkan sebuah romansa, pun bergejolaknya rasa. Malam itu aku hanya tahu lima menit berselang sampai gitarmu datang. Malam itu, Tuan, aku ingin mengalah pada setiap marah perihal irama yang memelan. Sebab lima menit itu, Tuan, duniaku stagnan. Diam menyusup di jeda lelampu yang redup.

Malam itu, terima kasih untuk sebuah lagu. Dan memanggil kenanganku dulu. Malam itu, kuingat kau sebagai hadiah. Mengelus perihku dengan indah.

Terima kasih, kau Tuan berbaju merah.




Luwuk, 16 November 2013

Bukan Aku Lagi

Bukan aku lagi yang pada pagi hari
kau bangunkan dengan gelitikan
sementara aku terus menahan senyuman
membuka lebar hati dengan hati-hati

Bukan aku lagi yang pada siang hari
terjebak dalam kertas-kertas yang menyilaukan
lalu dicarimu aku di bagian kata-kata yang terlupakan
ucapan selamat siang lebih dari sebuah yang tanpa arti

Bukan aku lagi yang pada sore hari
melepas segala panas dengan satu hembusan
dan kau damaikan dengan senyuman
terus begitu hingga matahari bunuh diri

Bukan aku lagi yang pada malam hari
istirahatkan kepala di bawah bayangan
mimpi yang semakin jadi harapan
satu yang kurasa tak akan pernah mati

Lalu mati.
Ternyata mati.
Bukan aku lagi.
Ternyata dia kini.



Kantor, 19 November 2013

Kamis, 07 November 2013

Tentang Kata dalam Saku

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
terlalu sering benar
Bahwa yang memendam enggan padam
pada pasrah yang gundam
Dan permainan selalu temukan
celah untuk hancur di
sela guruh yang paling pelan

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
bisa jadi benar
Bahwa pada setiap lengang aku meradang
Luka menyembuh enggan
Dan kau memikat gelak
tanpa mengerti cara mengelak

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
pada akhirnya benar
Bahwa di belakang tirai rindu merinai
diam diam serupa gerimis
berjinjit tenang meredam bengis
Menyengsarakan kepala tentang
menyegerakan pahala yang
masih di bawah bayang

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
lebih baik tak benar
Sebab hati
pada akhirnya nanti
akan temukan jalan pulang sendiri
di suatu pagi
Mengecap suci
Mengecup dahi

Sampai saat itu saja, tuan
biarkan ini berjalan, pelan

Rabu, 09 Oktober 2013

Senja dan Asa yang Menua


Malam baru saja usai. Kutandai itu dengan saru bahana adzan. Aku meringkuk di bawah peluk sarung yang tak pernah cukup hangat. Mungkin sebab itu aku butuh dekap. Angin selalu menemukan cara untuk masuk di sela tepas, menusuk kulit rapuhku lekas. Lenganmu, pada suatu waktu, akan menghempas segala guruh gemetar. Aku mempercayai itu  hingga mendapati kalender meja di samping tempat tidurku yang tak nampak lagi angka-angkanya. Sebentar lagi, pikirku. Setelah tujuh ratus tiga puluh tujuh hari, kalender yang hampir semua angkanya tersilang merah, akan berakhir di tempat sampah. Aku menggeliat, mengusir sisa-sisa lelap yang masih melekat, tapi senyap tetiba merapat begitu dekat, memaksaku mendengar detak jantungku sendiri – detak yang semakin cepat seiring berlalunya detik yang konstan terekam dari jam weker kecil berwarna biru. Di sampingnya, keramik beruang kecil tersenyum menghela bunga. Kubayangkan kau pada hari ini tiba dengan dua puluh dua kuntum kejora. 
Cahaya layar ponselku berlomba dengan ujung lengan-lengan matahari yang mencoba meraihku dari balik tirai jendela. Siapapun pengirim pesan itu, semoga bukan pesan dari operator telepon, keluhku. Yang benar saja, ini masih terlalu pagi untuk merecoki pikiran pelanggannya dengan informasi yang bahkan tidak pernah sempat dibaca. Tapi deretan huruf itu kemudian menarik bibirku. Ia selalu tahu cara membuatku tersenyum di saat-saat yang tak terduga.
Jangan merengut. Pesan ini tidak untuk membangunkanmu, karena harusnya kau sudah bersiap-siap dengan cangkir kopimu :) Aku sedang berada di orbit rotasimu. Temui aku di kafe biasa pukul 10. Dan jangan lupa bawa senyummu. Oh, jangan. Bawa tawamu saja.
*** 
Baru saja pintu kafe menyapa mataku, hujan sudah bebas jatuh. Padahal tadi matahari terlihat senang menantang langit. Tak begitu ramai rupanya. Mungkin karena sekarang sudah terlalu terlambat untuk mendapatkan kopi pertama. Dan jam makan siang sepertinya masih lama. Aku berjalan ke pantry kecil yang memisahkan aku dengan satu-satunya pegawai yang nampak sibuk mengatur entah apa di balik mejanya.
"Selamat… pagi menjelang siang?" sapanya, berusaha ramah dengan sedikit tanda tanya. Ia bergantian menatap aku dan arloji yang menggantung begitu saja di pergelangan tangannya yang kecil. 
"Jam segini, Nona? Aku bahkan tak ingat pernah melihatmu selain ketika matahari telah jatuh. Kau tahu, aku sampai-sampai mengira kau seorang Cullen yang menghisap kopi, " candanya.
Aku bisa melihat lebih banyak barisan gigi putihnya. Biasanya ia hanya tersenyum sopan pada siapapun yang datang.
"Sepertinya aku harus lebih sering ke sini di jam seperti ini. Melihatmu tertawa adalah hal langka rupanya. Tapi bisakah kau sisihkan waktu sibukmu untuk kopiku?”
"Ah, ya. Silakan duduk dulu. Aku sesungguhnya memiliki terlalu banyak waktu untuk sekadar mengantar kopimu ke meja mana pun yang kau suka."
Aku tersenyum. Ia selalu begitu baik. Cepat aku keluarkan dua lembar kertas dari dompetku, lalu berjalan ke sudut itu; tempat favorit. Dari sini, aku bisa leluasa memandang hujan yang sesekali mengecup kaca.
"Kopi keduamu, aku yakin. Minumlah perlahan, dan terima kasih untuk hadirmu di jam yang riuh seperti ini." Ia menyebut kata riuh sambil memutar bola matanya. Lucu.
Aku menunggu sebuah pesan yang bisa meyakinkan aku untuk terus menunggu di sini, sampai sapaan itu sayup jatuh di telinga kiri.
"Adakah yang begitu membuatmu terpikat selain hujan dan senja? Kau tahu, aku mulai cemburu.” Ia merengut sambil menarik kursi di depanku, menghalangi sedikit banyak bulir air yang terperangkap di permukaan kaca.  
Aku pura-pura merajuk, “Kau bisa saja memulai ini dengan menanyakan kabarku, Al.”
Ia tertawa, “Aku tahu kau sedang tak baik. Jadi untuk apa aku bertanya? Aku selalu tahu apapun lebih dari segala yang kau tahu, Nona.”
Kemudian menit selanjutnya bergulir dengan cepat. Aku bahkan lupa menuntaskan cangkir yang sudah tak beruap.
"Kau tahu, sudah lama kita tak tertawa sampai sakit perut. Dan ini pertama kalinya setelah… Ah, iya, bahkan aku lupa sudah berapa lama. Aku bukan ahli menghitung waktu rupanya. Jadi, bagaimana kabarmu?" Ia berbicara dengan sisa sisa tawa di bibirnya.
Aku tersenyum, “Aku baik. Tidak pernah sebaik ini malah. Jadi, berhentilah sok tahu. Sesekali kau harus percaya padaku soal bagaimana aku.”
"Ra, kau tahu kenapa kita tak pernah bisa tertawa lepas sebelum hari ini. Aku selalu percaya pada apa yang kau ucap, tapi tidak jika aku bisa melihat matamu. Ini sudah keterlaluan. Berhentilah, Ra. Ini bukan skenario yang baik untuk hidupmu. "
"Kau tahu aku sangat berbakat pada hal semacam ini, kan? Jika bagimu ini hanya drama murahan, aku tak perlu penonton. Pada saatnya, aku pasti berhenti, Al. Tenang saja. Kita juga akan lebih sering tertawa pada akhirnya," jawabku seraya tersenyum.
Kulihat air mukanya berubah. Aku tak pernah tahu bahwa seseorang yang mungkin saja pernah aku sakiti, telah begitu mengerti tentang sakit, hingga ia bisa mudah menaksir. Dan aku selalu membenci wajahnya yang terlihat getir. Untukku. Kuseruput kopiku yang sudah dingin. Di seberang meja, ia memainkan cangkir kopinya. Sesaat aku menyesal. Jika pembicaraan tadi tak sampai pada hal yang sebenarnya kami berdua sama-sama hindari, pada saat ini kami pasti masih akrab dengan tawa. Segalanya kembali canggung. Di luar, hujan pun masih mendengung. Lagu damai yang tak cukup menyemai ramai cerita yang terlanjur selesai.
 Ia memecah sunyi,”Ra,…?!”
Aku tahu masih ada kata-kata yang menggantung sejarak meja yang menengahi kami. Pada akhirnya ia hanya tersenyum. Menunda segala apa yang sudah sampai di ujung lidahnya, sebelum ia telan kembali tersembunyi di tumpukan waktu yang semakin entah. Aku tidak sepenuhnya sadar, sampai kulihat punggungnya tepat membelakangi pintu kafe. Tapi aku sadar, ada yang pelan-pelan menggenang hingga membuat ia terlihat semakin buram.
Aku membatin, “Aku tidak baik, Al. Kabarku tidak baik.”
*** 
Kota sedang betul-betul terjaga. Di sana-sini, kendaraan terbatuk-batuk menggerus sisa-sisa genangan yang tak menguap juga. Padahal matahari sudah cukup lama siaga. Memaksa beberapa orang mempertahankan payung di puncak kepala. Seiring lagu yang bergantian mengisi udara, tak terasa ke barat matahari semakin mengarah. Sedari tadi, bergantian orang-orang mengisi sisa kursi. Sementara aku belum beranjak dari cangkir yang menemani sejak pagi. Sepertinya ini bukan suatu masalah jika melihat banyaknya senyum dari pegawai yang sekadar lewat.
Kulirik jam yang menempel di dinding seberang, sudah hampir senja rupanya. Aku beranjak, meninggalkan ampas kopi yang tak nampak. Di luar, udara masih terasa panas, meski dalam perjalanannya, matahari sering meniduri awan. Aku mengikutinya pelan sembari mencoba merangkai sapaan. Kadang aku merasa ini akan seperti pertemuan pertama, menjaga rindu biar tak terlalu kentara. Atau aku berdiam saja di rumah, menyeruput kopi ketiga atau keempat sembari sesekali mendongak ke jalan. Ia pasti tahu harus mencariku ke mana jika tak ditemukannya aku di dermaga. Tapi, bukankah janji adalah apa yang selama ini ingin aku amini? Dan tetiba saja aku sudah sampai di sini. Dermaga kayu tua ini nampak lapuk. Aku membayangkan seberapa ia menahan remuk untuk setiap harapan yang enggan redup. Semakin hari, aku mencintai setiap goresan-goresan kayu yang mulai akrab dengan tanganku. Mereka mungkin senang disapa, meski harus berdarah bergesekan dengan kulitku yang kian papa. 
Horison yang tadi membiru mulai digayungi jingga. Sebentar lagi, pikirku. Masih terbayang sahabatku memintaku berhenti, tapi aku bergeming di sela udara yang hening. Kutajamkan telingaku, mencoba menusuk jejak yang akan tergeletak di belakang. Dadaku mulai sesak. Sementara matahari tinggal mengintip merangkak mencari perlindungan. Cakrawala seketika begitu luas. Di batas langit matahari akhirnya jatuh. Dan mimpiku ikut terbunuh.
Tak ada orang lain di sini. Aku menjaga pandangan di titik jauh maksimum yang bisa kuraih. Sementara adzan lamat terdengar, tubuhku mulai gemetar.
  
2007
"Dua tahun, Sayang. Bisakah kau bersabar? Aku akan datang segera, menemanimu menatap senja. Di sini, di dermaga kayu tua ini."

2009
Aku masih di tanggal yang sama, melingkari harapan di kalender pertama. Untuknya, aku menantang sabar. Dan menang dengan tegar. Ia mungkin masih harus menyelesaikan apapun itu di sana. Dua tahun, katanya. Kemudian aku mengambil kalender baru. Kalender kedua untuk janji dua tahun lalu.

2013
Ia memecah sunyi,”Ra,…?!”
“…”
“Tidakkah kau pikir janji pun bisa menua, lalu mati? Sementara kau begitu gigih, melawan waktu yang mungkin saja sudah letih. Dan selama rentang gemingmu, aku terlihat lebih bodoh sebab mencintamu.”

Samar kukumpulkan ingatan pada setiap ejaannya yang terbata. Sahabatku… ia sudah begitu sakit, bahkan untuk menyakitiku lewat kata. Sementara aku masih menunggu kekasihku. Tidak, bukan karena aku gigih, pun tak letih. Hati ini semakin ringkih untuk sekadar hidup demi mimpi. Tapi, aku tak tega menjadikan ia seorang yang ingkar pada ucapnya. Atau, aku masih buta cara untuk tak setia. Lagipula, bukankah senja tak kan pernah menua?

Sabtu, 07 September 2013

Floating in Togean (4) : Amazing Places in One Route

Pukul delapan, harusnya. Tapi barang-barang keluarga Italia sepertinya terlalu banyak untuk bisa di-pack dalam waktu… banyak jam. 08.45 akhirnya perahu melaju. Dengan mesin berkekuatan 16 HP, hampir dua jam kami – saya, Kristi, Mr. Leo dan istrinya, serta Chiara dan Mario – diombang-ambingkan  gelombang.

Menyempatkan mencari signal sebelum pergi
Dermaga Kadidiri Paradise yang panjaaang
Tak terlalu tenang rupanya. Tujuan pertama adalah Hotel California. Jangan membayangkan sebuah hotel yang benar-beanr hotel. Sampai saat ini pun saya belum tahu alasan penamaan itu. Tapi, jangan salah. Sejatinya ini bisa jadi hotel paling indah di dunia (kemudian memberikan tanda bintang di akhir pernyataanku tadi sebagai keterangan 'syarat dan ketentuan berlaku'). Bayangkan saja! Di tengah-tengah laut, Anda bisa melihat ombak memecah seperti di tepi pantai dari atas shelter yang... umm... mungkin kokoh. Dan ini adalah kerajaan atol yang paling indah di sini. Jadi, betapa menakjubkan ‘halaman rumah’nya! Berbagai karang cantik yang menjadi rumah-rumah ikan yang tak kalah cantik. Sempurna!!!

Hotel California

Siap-siap nyemplung

Jumping the bamboo


Mengapung bebas
Puas berhangat-hangat di air laut, kami harus berdingin-dingin diterpa angin. Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Papan. Rumah bagi suku Bajo yang hanya mengandalkan tiang-tiang kayu di atas laut yang tenang. Yang terkenal? Tentu saja pemandangan dari bukit batugamping yang menyuguhkan ratusan bilah papan yang dijalin menuju pulau di sebelahnya; Pulau Malenge. Jembatan papan itu tampak rapuh dengan jeda antar papan yang lumayan membuat saya bergidik. Tapi anak-anak Pulau Papan harus melewati itu setiap hari untuk pergi dan pulang sekolah karena satu-satunya sekolah ada di Pulau Malenge.

Pulau Papan di ujung pandangan

Merapaaat...

Jembatan Pulau Papan - Pulau Malenge
Salah satu sisi Pulau Papan dari puncak bukit batugamping
Tampak Pondok Lestari Malenge dari jauh
Sisi lain Pulau Papan


Meski panas, tetap eksis :3
Hampir satu jam sebelum kami disambut anak-anak kecil Suku Bajo yang tersenyum lebar menunggu perahu kami merapat. Tentu saja keluarga Italia itu medapat perhatian lebih. Setelah mencari rumah yang akan mereka tumpangi untuk entah berapa hari ke depan, kami menyantap makan siang terenak yang pernah ada: mie goreng instan dengan cabe rawit yang banyak, telur dadar goreng yang dibumbui, dan lalampa – sejenis gogos atau nasi ketan yang dibungkus daun pisang dengan abon ikan di tengahnya lalu dibakar di atas bara. Kenapa paling enak? Karena ikan terlalu mainstream dan spicy food terlalu rare, serta bonus pemandangan yang terlalu sayang untuk dilewatkan, bahkan untuk berkedip. Foto-foto pun rasanya tak cukup menjadi bukti. Tak lupa kami berfoto bersama keluarga Mr. Leo. Lucunya, Chiara dan Mario begitu susah untuk diajak berfoto. Mr. Leo bahkan menjuluki dua anaknya ‘wild animal’. “Don’t surprised if they don’t wanna make a pic with you. They’re wild animal. Chiara is wild donkey and Mario is wild shark.” :D

Jembatan antar pulau

Makan siang kita...

Tempat parkir perahu :D

View dari 'resto' Pulau Papan

Chiara dan Mario
Foto dulu sebelum ditinggal
Ternyata untuk hal-hal menakjubkan, waktu tak bisa berkompromi. Hampir pukul tiga, kami bersiap-siap meninggalkan Pulau Papan. Danau ubur-ubur menunggu, kawan-kawan!!! Perjalanan yang panjang untuk sampai ke danau itu. Saya bahkan sempat tidur di atas perahu. Tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang bisa dilihat. Kami melewati Bolilanga Resort, Fadhila Resort, desa Katupat, sebelum sampai di danau ubur-ubur. Matahari sudah beranjak ke barat, membuat danau itu terlihat sedikit menakutkan karena agak gelap. Dan sebagai pemula di bidang renang-berenang, saya takut tenggelam mengingat kadar garam yang mungkin saja tidak ada. Air hijau pekatnya bahkan membuat saya gugup. Tapi kalau rasa penasaran sudah ada di ubun-ubun kepala, hal yang bisa saya lakukan adalah memasang gear dengan cepat lalu… Aaah, ternyata airnya asin seperti air laut. :D Mungkin karena litologi yang mengelilinginya adalah batugamping, jadi air dari luar lebih gampang masuk lewat pori-pori batuan. Tapi keruhnya air danau sanggup membuat Kristi yang sudah mahir berenang naik lebih cepat. Di tepian, tak terlalu banyak ubur-ubur yang bisa dilihat. Tapi semakin ke tengah, jangan tanya berapa banyak ubur-ubur yang berenang di sekitar. Menakjubkan! Tubuh mereka terasa rapuh. Kenyal dan berlendir. Menyentuh mereka membuat saya ingat rumah. Iya, saya ingat tontonan pagiku di televisi: serial kartun Spongebob. :D
Jellyfish lake

Amy-nya nakal, kaka... :3

Dikerjain :/

Bye-bye, Jellyfish :*
Tak lama di danau, kami pun melanjutkan perjalanan ke pantai yang tak jauh dari danau. Pantai Karina namanya. Pantai ini cocok untuk sekadar bermain pasir, karena jarak antara bibir pantai dan terumbu karang lumayan jauh. Air lautnya jernih. Pasirnya putih dan halus. Sayang, kami tak sempat mengambil banyak foto di sini. Kamera lowbatt :( jadinya hanya bisa bermain sepuas hati :D

Sibuk sendiri di Pantai Karina
Masih ingin berlama-lama, sekalian belajar berenang tanpa fin, tapi gelap mulai menyapa. Akhirnya, perahu melaju ke barat, seakan mengantar matahari tidur di balik horizon. Sekitar pukul enam sore, kami menapak lagi di Pulau Kadidiri. Hari yang luar biasa!!! Berkahnya pun luar biasa. Untuk perjalanan yang hampir menjadi perjalanan pribadi kami berdua, Rp 150.000 melayang begitu saja dengan santai. Hihihi…

Mengantar matahari

"Perjalanan adalah pelajaran bagi setiap apa yang nantinya memenuhi ingatan." - @Amy_AWP