Jumat, 29 November 2013

Ketika Kau Berbalik Pergi

Aku khawatir pada mataku
Ia tak lagi menjumpaimu
dalam dua retina yang memalu;
Sebuah hulu yang bermuara pada ragu

Aku khawatir pada telingaku
Ia tak lagi menyimakmu
dalam sendu lagu-lagu
tentang cinta dan rindu

Aku khawatir pada mulutku
Ia takut pada sebuah kaku
ketika yang kuucap harus namamu
dalam serakahnya doa di awal subuh

Aku khawatir pada hidungku
Ia yang mulai terbiasa pada bau
rindu di awal minggu
Yang tak habis hingga sabtu

Aku khawatir pada kulitku
Meranggas tanpa kamu
dan sepaket peluk
di malam rabu

Aku khawatir pada aku
Sekarat di ujung waktu
ketika kata berlomba keluar dari saku
Lalu berserakan di lantai, jatuh

Aku khawatir pada hatiku
sakitnya menghunjam sampai ke ulu
saat yang kulihat hanya punggungmu
ternyata aku baik-baik saja... ketika itu.

Minggu, 24 November 2013

Surat Cinta (?) yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca (2)

Aku menulis ini sembari bertanya, mungkinkah ini murni putusan Tuhan, atau hanya harga yang harus kubayar untuk banyak pengandaian? Tapi kemudian cahaya yang pagi ini membanjiri rumahku, yang melahap habis semua gigil sebab sakit, ia berbaik hati menarik paksa pikiran yang terlalu lama bermimpi. Bagaimana kita memulai dan menjalani ini, serupa anak kecil di taman bermain yang dipaksa untuk mencoba segala permainan. Rasa ingin tahumu terlalu besar, apakah kau sadar? Aku bahkan telah menelanjangi hidup jauh sebelum kau memintaku menunggu, tepat di depan dua mata yang selalu berhasil membuat aku memuja. Dan pupil matamu yang membesar, terus saja membuatku ingin meludahimu dengan semua cerita. Kau tahu betul cara membuatku rela melakukan persalinan kata, dan iya, aku tak perlu mengedan hebat untuk tetap berbicara. Di depanmu, bercerita adalah naluriku. Di depanmu, pandangan adalah caramu.

Aku menulis ini sembari merangkai segala percakapan, merangkumnya dalam silsilah. Tentang jarak yang tak juga masuk dalam lipatan, aku selalu ingin marah. Kemudian waktu semakin lancang meninggalkan, hingga dadaku serasa mau pecah. Aku seperti orang bodoh yang berdiri di depan jarum jam; menghidupkan detik, pun mematikan harap. Setiap pertemuan yang tak hanya sisakan sejarah, membuatku ingin menyerah. Rindu tak pernah selesai, dan kita ada di pintu berai.

Aku menulis ini dalam ketegaran yang dibuat-buat. Sesuatu di pikiranku selalu memaksaku menjadi kuat. Tapi, di sini, pada sesuatu yang bersarang jauh terlindung oleh rusukku, aku memberontak hebat. Tulang-tulangku seakan rontok, meniadakan penopang hingga harus aku tersungkur; di atas tanah yang seharusnya kau lewati nanti, di bawah langit yang seharusnya teduhkan perhelatan hati.

Aku menulis ini dalam sakit, merunut banyak hal yang akan masuk bagian kenangan; garis wajahmu, mata yang teduh... aku bahkan tak bisa menolak untuk membayangkan bagaimana bibirmu bercerita tentang mimpi yang di dalamnya kau membawaku. Aku menghitung setiap jalan yang sempat bertemu dengan kaki kita, dari utara ke selatan, hingga tempat-tempat yang sempat menjadi persinggahan. Aku memutar kembali rekaman ingatan tentang empat kali subuh bersamamu. Aku mencoba mengingat film-film yang selalu menjadi sebab kita berdebat, hingga bagaimana ia juga menjadi sebab untuk sebuah dekap. Dan tentang segala hal kecil dalam kehidupanku selama dua minggu yang berkali-kali, demi apapun, selalu ingin kuabadikan; bagaimana kita mencuri genggaman di antara kendaraan, atau tentang pertengkaran kecil di tempat parkir, atau tentang jari-jari tanganku yang selalu sakit, atau ratusan lagu yang kemudian terabaikan... dan tentang bagaimana kau menenangkan, bagaimana kau bersabar, bagaimana kau mengalah, bagaimana kau berusaha menjadi pantas... hingga bagaimana surat ini akan berakhir.

Aku menulis ini sekaligus bertanya; sesulit itukah mengamini inginku? Kemudian otakku menjawab, mungkin kau yang tak pernah benar-benar menginginkanku.

Aku menulis ini, sayangnya, masih penuh cinta, untukmu. Denganmu, aku berhasil menundukkan rindu untuk beberapa periode yang tak terhitung. Bersamamu, aku sukses membuat film paling rumit dalam hidupku sejauh ini. Tak ada harapan lagi yang pantas kubicarakan. Kau sudah (seharusnya) mengerti lewat percakapan-percakapan kita yang telah lalu. Hanya saja, dari sekian harapan yang sempat kita tukar, aku menukar yang ini dengan permintaan maaf... sebab masih menyayangimu.


"Berbahagialah, untuk (si)apapun di luar sana. Kita adalah dua orang yang masih dengan sungguh meyakini rencana Tuhan yang paling sempurna, dan tetaplah seperti itu hingga nanti kita bersua lagi; entah untuk berjabat tangan ringan sambil bertanya kabar, atau untuk bersalaman dalam debar."





Di suatu tempat yang mungkin tak akan pernah kau singgahi, 22 Agustus 2013

Jumat, 22 November 2013

Surat Cinta yang Terlambat

Aku menulis ini sekitar dua jam setelah namamu tertulis indah di layar ponselku. Betapa aku merindukan hal kecil seperti itu, tuan. Tapi, hati masih terus gamang. Ada yang membekas di goyahnya perlakuan.
Terlalu gelap di sini, tuan. Apa yang nampak hanya hitam jalanan. Beberapa kali cahaya mengagetkan, sekelebat saja, sampai satu satunya sinar adalah apa yang tepat di depan. Aku berharap kau tidak membaca catatanku seperti itu. Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, duduk ramah di depan rumah, sesekali tersenyum pada mereka yang lewat, sembari menatap angin menggoyangkan dedaunan pelan. Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, melepas penat tanpa perlu bersusah, dengan catatan ini di depan mata.
Tuan, bagaimana cara menjelaskan ini? Tentang rasa yang tak kunjung mati, tapi dipaksa pergi? Bagaimana aku merelakan waktu yang terbuang dengan ingatan yang tak pernah tenggelam? Aku berharap pada hari ini. Pada hari yang selalu tak pernah alpa mengingatkan kita. Ia yang akan mencari tahu di sepersekian bagian hatimu, adakah ingin untuk mengamini inginku? Di satu purnama setelah ini, adakah kita masih bernama di sini? Suatu hari, tuan, hari seperti ini akan memberiku jawaban. Lewat hari yang acap mengubah rupa, semoga kau pun menolak lupa.
Aku ingin kau selalu ada di damainya sore menjelang senja, mengucapkan selamat tinggal pada setiap duka, dan membentuk pelangimu sendiri di antara udara. Sementara aku bertanya tanya, adakah kau membuka pelan pelan mimpi yang sempat akrab di belakang? Atau aku lancang menebak tentang arah jarum jam yang sempat kau sebut rahmat? Untuk doamu, tuan, ada hangat yang ditindih sujudku dalam aamiin. Maka, berbahagialah. Aku menyumpahimu dengan cinta yang tumpah, berbahagialah.


Di suatu tempat antara Palu-Luwuk, 22 Juli 2013

Kamis, 21 November 2013

Ssttt! Ini Rahasia

Jika ini adalah rahasia
kan kubisikkan ini 
tepat di telinga dunia
dan tak lenyap oleh pagi

Jika ini adalah rahasia
biarkan satu yang indah
kulisankan di bening mata
yang selalu membuatku kalah

Jika ini adalah rahasia
kujejalkan ribuan lagu
lewat jemariku yang lugu
nada yang mengantar setia

Tapi, biarkan kini tak lagi jadi rahasia
dan dengarkan ini baik baik:
Aku mencinta(i)...
              kau dan musik(mu)

Senin, 18 November 2013

Surat Cinta yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca

Dear, Tuan berbaju merah...

Malam itu aku tak sedang mengharapkan sebuah lagu, pun satu pertemuan yang terburu. Malam itu aku hanya tahu lima detik ketika yang berhenti adalah waktu. Malam itu, Tuan, aku ingin berjaga pada setiap pikiran dunia bahwa waktu terus berjalan. Sebab lima detik itu, Tuan, duniaku stagnan. Diam menelusur ujung matamu lewat retinaku yang salah jalur.

Malam itu aku tak sedang membayangkan sebuah romansa, pun bergejolaknya rasa. Malam itu aku hanya tahu lima menit berselang sampai gitarmu datang. Malam itu, Tuan, aku ingin mengalah pada setiap marah perihal irama yang memelan. Sebab lima menit itu, Tuan, duniaku stagnan. Diam menyusup di jeda lelampu yang redup.

Malam itu, terima kasih untuk sebuah lagu. Dan memanggil kenanganku dulu. Malam itu, kuingat kau sebagai hadiah. Mengelus perihku dengan indah.

Terima kasih, kau Tuan berbaju merah.




Luwuk, 16 November 2013

Bukan Aku Lagi

Bukan aku lagi yang pada pagi hari
kau bangunkan dengan gelitikan
sementara aku terus menahan senyuman
membuka lebar hati dengan hati-hati

Bukan aku lagi yang pada siang hari
terjebak dalam kertas-kertas yang menyilaukan
lalu dicarimu aku di bagian kata-kata yang terlupakan
ucapan selamat siang lebih dari sebuah yang tanpa arti

Bukan aku lagi yang pada sore hari
melepas segala panas dengan satu hembusan
dan kau damaikan dengan senyuman
terus begitu hingga matahari bunuh diri

Bukan aku lagi yang pada malam hari
istirahatkan kepala di bawah bayangan
mimpi yang semakin jadi harapan
satu yang kurasa tak akan pernah mati

Lalu mati.
Ternyata mati.
Bukan aku lagi.
Ternyata dia kini.



Kantor, 19 November 2013

Kamis, 07 November 2013

Tentang Kata dalam Saku

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
terlalu sering benar
Bahwa yang memendam enggan padam
pada pasrah yang gundam
Dan permainan selalu temukan
celah untuk hancur di
sela guruh yang paling pelan

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
bisa jadi benar
Bahwa pada setiap lengang aku meradang
Luka menyembuh enggan
Dan kau memikat gelak
tanpa mengerti cara mengelak

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
pada akhirnya benar
Bahwa di belakang tirai rindu merinai
diam diam serupa gerimis
berjinjit tenang meredam bengis
Menyengsarakan kepala tentang
menyegerakan pahala yang
masih di bawah bayang

Ini adalah sebuah kemungkinan yang
lebih baik tak benar
Sebab hati
pada akhirnya nanti
akan temukan jalan pulang sendiri
di suatu pagi
Mengecap suci
Mengecup dahi

Sampai saat itu saja, tuan
biarkan ini berjalan, pelan