Doa ini tidak istimewa. Tenggelam di antara beribu doa untukmu.
Doa ini biasa saja. Tanpa polesan, pun tidak berdandan.
Doa ini tidak mewah. Tidak membawa syarat, hanya bermodal nekat.
Doa ini kecil. Tidak perlu berjam jam untuk menjamunya.
Doa ini pemalu. Diam diam bertamu, sekedar untuk temani lelapmu.
Doa ini terang. Menantang malam, hingga matahari terbenam.
Doa ini lembut. Mengelus pelan rambutmu ketika kamu berpesta dalam mimpi.
Doa ini sejuk. Payungi kamu dalam panas, rela berjemur hingga
lemas.
Doa ini... hanya agar kamu baik baik di
sana.
Ketika huruf-huruf menari di ujung jemari sebab kenangan di tepi ingatan...
Senin, 08 Desember 2014
Baik-Baiklah!!!
Sabtu, 29 November 2014
Bawakan Aku Edelweiss
Seikat saja, katamu
padahal kau jelas tahu
aku peracau di udara dingin
mengulang namamu sebanyak angin
seakan mantra pembawa hangat
merindu dekap sungguh sangat
Pun lututku jatuh di ketinggian
menyulap sendi semata hiasan
belulang rapuh perlahan ke tanah
menjabat debu begitu pongah
Lalu punggungku, sayang
entah kenapa membenci bumi
membawa segenap dada menuju tepi
apa yang sanggup kubawa pergi
sebatas tubuh dan seikat sunyi
Tapi kau sebut cintaku dalam titah
demi mahkotamu menjelma indah
juga perihal abadinya kita
kau ucap bahkan tanpa tanda tanya
"Edelweis itu di dinding tebing, Sayang."
Segara Anak - Plawangan Sembalun, 29 Oktober 2014
Senin, 17 November 2014
Perkara Pagi dan Matahari
Aku selalu jatuh cinta pada pagi seperti ini
ketika nafas hanya berkawan sepi
dan suara chris martin mengalir lirih
mengisi pendengaran tanpa henti
Di tepi jalan banyak sekali balita
mungkin menunggu waktu sekolah
lebar senyumnya berbinar matanya
kubalas semata dering bel sepeda
Dan aku semakin mencintai pagi
di mana kau membawa hati
dengan seikat bunga matahari
katamu, kita makamkan saja cerita dulu
sembari menabur di atas kubur
segala keluh masa lalu
Lalu aku mencintai matahari
sebab dari sana kubayangkan kau berlari
dengan kuntum cahaya seperti kini.
Di abu-abu jalanan pada pagi yang warna warni, 15 November 2014
Jumat, 24 Oktober 2014
Siang Itu di Makassar
terik...
sementara kata tak jua jadi larik
perjalanan pelan menguapkan
satu satu ragu
sebab ternyata aku lebih
dari sekadar butuh
pada hening yang khidmat
kini bising menelanku
tanpa peringatan
seperti matahari siang
yang tetiba menerjang
sebelum kau datang
dengan tangan yang
penuh harapan
Halo, kamu... :)
Gerai fastfood, 25 Oktober 2014
Sabtu, 11 Oktober 2014
Sepuluh bulan, bisa lebih bisa kurang
Setelah hilang tanpa pengakuan,
Tetiba datang dengan pertanyaan:
"Baik-baikkah?”
Harusnya kau tahu jawabannya, Sayang.
Sepuluh bulan, tak tahu berapa tepatnya
Satu-satunya kepastian hanya
jutaan pernyataan kasat mata
“Dibacakah?”
Mestinya kau katakan itu, Cinta.
Sepuluh bulan, usianya kira-kira
Berlatar merah beraltar bahagia
Disebutnya itu berkah
“Kau lihat?”
Pantasnya itu disembunyikan, Luka.
Minggu, 06 April 2014
Lingkaran
Kita adalah lingkaran. Berbulan bulan sebelum kemarau jatuh di bulan Juli. Satu garis utuh yang tak putus di jeda angin musiman.
Kita adalah lingkaran. Mengutus sekian banyak alasan untuk memutuskan. Sebelum kering bulan juli membakar hutan prasangka.
Kita adalah lingkaran. Sampai yang melingkar bukan lagi lengan. Tinggal milikku, di sisi jam tanganmu, sakit berpura tuli. Namanya terlalu jelas diungkap nadi.
Rabu, 26 Februari 2014
Kisah Sebuah Sesal (Bagian 2) : Mengecup Suaramu
“You don't love someone for their looks, or their clothes, or for their fancy car, but because they sing a song only you can hear.” - Helen Keller
Entah ini sudah detik ke berapa. Aku masih saja duduk di samping meja telepon, menunggu keberanian singgah sebentar di tanganku yang sudah mencumbu dua belas tombol di bawahnya. Apakah ini terlalu pagi? Apakah ia sudah bangun? Aah, tentu saja ia belum bangun. Aku terkekeh pelan. Lalu, jika dering teleponku yang membangunkannya, seperti apa suara yang akan menyapaku? Apa mungkin ia akan kesal karena teleponku? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tetiba menghantamku.
“Aku ingin menjadi satu-satunya jeda di antara suara, ketika kita hanya sejarak senyap di ujung dekap.”
Minggu, 02 Februari 2014
Minggu Para Buruh
Dear...
Bagaimana minggumu? Bukankah ini waktunya kau sedikit lebih lama di tempat tidur, atau mengulur waktu di bathtubmu? Sementara kertas kertas berserakan di mejaku. Lalu peluh perlahan lolos dari alas jilbabku. Kau tetap bergelung di bawah selimut hangatmu, mengabaikan lapan belas derajat yang percuma.
Dear...
Bagaimana minggumu? Bukankah kau harusnya bercerita tentang tempat tempat indah yang sempat singgah di pijakmu, atau menebar gambar gambar yang di dalamnya kau tersenyum lebar? Sementara jemariku begitu ingin lepas dari tuts tuts menyebalkan. Lalu mataku meminta perlindungan dari layar di depan. Kau tetap melepas titik terjauhmu di hamparan biru surga, khilaf pada terik yang menerbitkan dahaga.
Dear...
Mingguku. Baru saja berakhir di kantor. Dengan cerita buruk di ujungnya. Semoga tidak jika itu tentangmu.
-- @Amy_AWP
Jumat, 31 Januari 2014
Surat Cinta yang Terjepit dalam Ramai di Antara Dua Tanggal Merah
berkilau ditindih lusinan cahaya
yang sopan bertamu
tanpa tanya
suara melontarkan ribuan peluru
yang sempat tertahan gerah
sehari sebelum sabtu
terbahak hingga berairmata
Menyelamatkan kata
untuk ditelan
--- @Amy_AWP