Sabtu, 07 September 2013

Floating in Togean (4) : Amazing Places in One Route

Pukul delapan, harusnya. Tapi barang-barang keluarga Italia sepertinya terlalu banyak untuk bisa di-pack dalam waktu… banyak jam. 08.45 akhirnya perahu melaju. Dengan mesin berkekuatan 16 HP, hampir dua jam kami – saya, Kristi, Mr. Leo dan istrinya, serta Chiara dan Mario – diombang-ambingkan  gelombang.

Menyempatkan mencari signal sebelum pergi
Dermaga Kadidiri Paradise yang panjaaang
Tak terlalu tenang rupanya. Tujuan pertama adalah Hotel California. Jangan membayangkan sebuah hotel yang benar-beanr hotel. Sampai saat ini pun saya belum tahu alasan penamaan itu. Tapi, jangan salah. Sejatinya ini bisa jadi hotel paling indah di dunia (kemudian memberikan tanda bintang di akhir pernyataanku tadi sebagai keterangan 'syarat dan ketentuan berlaku'). Bayangkan saja! Di tengah-tengah laut, Anda bisa melihat ombak memecah seperti di tepi pantai dari atas shelter yang... umm... mungkin kokoh. Dan ini adalah kerajaan atol yang paling indah di sini. Jadi, betapa menakjubkan ‘halaman rumah’nya! Berbagai karang cantik yang menjadi rumah-rumah ikan yang tak kalah cantik. Sempurna!!!

Hotel California

Siap-siap nyemplung

Jumping the bamboo


Mengapung bebas
Puas berhangat-hangat di air laut, kami harus berdingin-dingin diterpa angin. Perjalanan dilanjutkan ke Pulau Papan. Rumah bagi suku Bajo yang hanya mengandalkan tiang-tiang kayu di atas laut yang tenang. Yang terkenal? Tentu saja pemandangan dari bukit batugamping yang menyuguhkan ratusan bilah papan yang dijalin menuju pulau di sebelahnya; Pulau Malenge. Jembatan papan itu tampak rapuh dengan jeda antar papan yang lumayan membuat saya bergidik. Tapi anak-anak Pulau Papan harus melewati itu setiap hari untuk pergi dan pulang sekolah karena satu-satunya sekolah ada di Pulau Malenge.

Pulau Papan di ujung pandangan

Merapaaat...

Jembatan Pulau Papan - Pulau Malenge
Salah satu sisi Pulau Papan dari puncak bukit batugamping
Tampak Pondok Lestari Malenge dari jauh
Sisi lain Pulau Papan


Meski panas, tetap eksis :3
Hampir satu jam sebelum kami disambut anak-anak kecil Suku Bajo yang tersenyum lebar menunggu perahu kami merapat. Tentu saja keluarga Italia itu medapat perhatian lebih. Setelah mencari rumah yang akan mereka tumpangi untuk entah berapa hari ke depan, kami menyantap makan siang terenak yang pernah ada: mie goreng instan dengan cabe rawit yang banyak, telur dadar goreng yang dibumbui, dan lalampa – sejenis gogos atau nasi ketan yang dibungkus daun pisang dengan abon ikan di tengahnya lalu dibakar di atas bara. Kenapa paling enak? Karena ikan terlalu mainstream dan spicy food terlalu rare, serta bonus pemandangan yang terlalu sayang untuk dilewatkan, bahkan untuk berkedip. Foto-foto pun rasanya tak cukup menjadi bukti. Tak lupa kami berfoto bersama keluarga Mr. Leo. Lucunya, Chiara dan Mario begitu susah untuk diajak berfoto. Mr. Leo bahkan menjuluki dua anaknya ‘wild animal’. “Don’t surprised if they don’t wanna make a pic with you. They’re wild animal. Chiara is wild donkey and Mario is wild shark.” :D

Jembatan antar pulau

Makan siang kita...

Tempat parkir perahu :D

View dari 'resto' Pulau Papan

Chiara dan Mario
Foto dulu sebelum ditinggal
Ternyata untuk hal-hal menakjubkan, waktu tak bisa berkompromi. Hampir pukul tiga, kami bersiap-siap meninggalkan Pulau Papan. Danau ubur-ubur menunggu, kawan-kawan!!! Perjalanan yang panjang untuk sampai ke danau itu. Saya bahkan sempat tidur di atas perahu. Tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang bisa dilihat. Kami melewati Bolilanga Resort, Fadhila Resort, desa Katupat, sebelum sampai di danau ubur-ubur. Matahari sudah beranjak ke barat, membuat danau itu terlihat sedikit menakutkan karena agak gelap. Dan sebagai pemula di bidang renang-berenang, saya takut tenggelam mengingat kadar garam yang mungkin saja tidak ada. Air hijau pekatnya bahkan membuat saya gugup. Tapi kalau rasa penasaran sudah ada di ubun-ubun kepala, hal yang bisa saya lakukan adalah memasang gear dengan cepat lalu… Aaah, ternyata airnya asin seperti air laut. :D Mungkin karena litologi yang mengelilinginya adalah batugamping, jadi air dari luar lebih gampang masuk lewat pori-pori batuan. Tapi keruhnya air danau sanggup membuat Kristi yang sudah mahir berenang naik lebih cepat. Di tepian, tak terlalu banyak ubur-ubur yang bisa dilihat. Tapi semakin ke tengah, jangan tanya berapa banyak ubur-ubur yang berenang di sekitar. Menakjubkan! Tubuh mereka terasa rapuh. Kenyal dan berlendir. Menyentuh mereka membuat saya ingat rumah. Iya, saya ingat tontonan pagiku di televisi: serial kartun Spongebob. :D
Jellyfish lake

Amy-nya nakal, kaka... :3

Dikerjain :/

Bye-bye, Jellyfish :*
Tak lama di danau, kami pun melanjutkan perjalanan ke pantai yang tak jauh dari danau. Pantai Karina namanya. Pantai ini cocok untuk sekadar bermain pasir, karena jarak antara bibir pantai dan terumbu karang lumayan jauh. Air lautnya jernih. Pasirnya putih dan halus. Sayang, kami tak sempat mengambil banyak foto di sini. Kamera lowbatt :( jadinya hanya bisa bermain sepuas hati :D

Sibuk sendiri di Pantai Karina
Masih ingin berlama-lama, sekalian belajar berenang tanpa fin, tapi gelap mulai menyapa. Akhirnya, perahu melaju ke barat, seakan mengantar matahari tidur di balik horizon. Sekitar pukul enam sore, kami menapak lagi di Pulau Kadidiri. Hari yang luar biasa!!! Berkahnya pun luar biasa. Untuk perjalanan yang hampir menjadi perjalanan pribadi kami berdua, Rp 150.000 melayang begitu saja dengan santai. Hihihi…

Mengantar matahari

"Perjalanan adalah pelajaran bagi setiap apa yang nantinya memenuhi ingatan." - @Amy_AWP

Floating in Togean (3) : Put Off your Life Jacket!!!

Pagiiiiii!!! Sarapan ala Indonesia dengan sentuhan barat? Ada dadar pisang dan kopi atau teh yang bisa sepuasnya dibuat. Sebenarnya kami berencana untuk full day trip. Biayanya? Sekitar Rp 150.000 per orang, jika peserta trip-nya enam orang. Karena hari itu yang beminat hanya kami berdua, maka kami tangguhkan dulu sampai keesokan harinya, mengingat ada keluarga Italia yang akan ikut pada hari selanjutnya. Tak mau menyia-nyiakan setiap detik yang terlalu berharga di sini, Mr. Aslan mengajak kami ke Pulau Taipi. Hanya sekitar 30 menit untuk ke pulau ini.

Ready? I am, Captain!

Kegilaan di atas perahu. Girls!!!
Di Pulau Taipi dulunya ada resort milik Kadidiri Paradise, tapi entah kenapa ditinggalkan. Padahal untuk akses sinyal, di sini sangat mumpuni. Ditambah lagi ada spot bagus untuk diving: Taipi Wall. Sekarang yang terlihat hanya tinggal bangunan-bangunan tampak masih layak huni. Suatu saat nanti, jika butuh pulau untuk camping, mungkin saya bisa rekomendasikan pulau ini. J

Pulau Taipi di ujung pandangan

Setelah Kristi dan Mr. Aslan berkencan dengan gadget masing-masing, kami pun bersiap untuk snorkeling. Kristi menyewa snorkel dan mask di Lestari dengan harga sewa Rp 25.000 per hari. Saya? Tentu saja dengan alat pribadi. Ini adalah snorkeling perdana dengan gear milik sendiri dan TANPA LIFE JACKET. Catat ya?! Tanpa life jacket. Tadinya, saya mau menyewa life jacket di Kadidiri Paradise seharga Rp 20.000 per hari karena di Lestari tidak ada fasilitas itu. Tapi karena satu dan lain, akhirnya batal. Dan terima kasih kepada ‘satu dan lain hal’ itu, finally saya buktikan teori bahwa massa jenis seorang Amy lebih kecil dari massa jenis air. Hahaha. Dan bahwa teori kaki bebek atau katak itu juga benar adanya. Saya bahkan hampir tidak bisa beranjak dari tempat awal saya mengapung jika tak dibantu oleh fin. Tapi dengan fin, selama hampir tiga jam, kami bisa mengelilingi separuh pulau. :D Soal keindahan bawah lautnya, jangan tanya saya. Saya hanya bisa sebatas mengagumi tanpa tahu jenis organisme di dalamnya. Ikan warna-warni? Ada. Bintang laut? Ada. Terumbu karang cantik? Ada. :) Sayang, karena tak ada fasilitas kamera underwater, kami tak bisa mengabadikan kecantikannya. Tapi, bukankah mata manusia adalah kamera paling sempurna? :D

Karena perbekalan yang terbatas pada cemilan-cemilan tak mengenyangkan, kami memutuskan untuk pulang, bersih-bersih, makan siang, lalu tiduuuuuur. Snorkeling perdana cukup membuat badan pegal-pegal, bahkan untuk seorang perenang sekelas Kristi. :D

Siap-siap pulaaaang... makan :D

Sejatinya tak perlu jauh-jauh untuk dapat pemandangan bawah air yang bagus, karena ‘halaman depan’ cottage pun sudah luar biasa. Matahari perlahan turun ke barat. Kembali kami mengenakan gear, lalu berjalan mundur. Dekat pantai, laut memang terlalu dangkal untuk direnangi. Dan masih banyak karang tajam yang akan menghambat gerak kami. Itu yang saya sadari setelah beberapa meter mencoba keluar dari laut dangkal itu dan mendapati kakiku penuh luka tergores karang. Seharusnya kami mengikuti jalur masuk perahu, tapi karena saya agak ‘kampungan’ melihat air laut yang jernih, yaaah… L

Satu jam lebih keliling ‘halaman depan’ cottage, awan masih juga menggantung di cakrawala. Kami melewatkan sunset kedua. Dan setelah itu pun, awan masih tak beranjak. Hujan. Kami men-charge energy untuk full day trip keesokan harinya.

Bahkan jingga yang gagal masih tetap indah

Namanya juga perempuan :3


"Sebaik-baik pelajaran adalah dengan mencoba. Untuk hal baik, kenapa harus menunda?" - @Amy_AWP

Jumat, 06 September 2013

Floating in Togean (2) : After the Sunny Day, There’s A Fabulous Sunset

Pukul tiga siang dan matahari masih lucu-lucunya. Perlahan didera warna air yang mulai tampak asing, kapal merapat ke dermaga. Kristi menghubungi keluarganya yang baru beberapa jam lalu diketahui bahwa dia ditugaskan di Wakai. Lextito namanya. Setelah kapal menurunkan pintu raksasanya, semakin jelas terlihat seseorang menunggu kami di sisi kiri kapal. Berbasa-basi sedikit, kenalan, lalu mengabadikan momen. Lextito mengajak kami makan siang. Tadinya agak ragu, sebab dari beberapa referensi, perahu dari cottage yang ada di Pulau Kadidiri – tujuan kami selanjutnya – tidak akan menunggu lama di pelabuhan. Tapi ternyata rasa lapar mengalahkan segalanya. Rp 3.000 untuk sewa ojek ke tempat makan enak yang katanya satu-satunya di Wakai. Please, are you kidding me? Saya sudah membayangkan ikan bakar dengan dabu-dabu serta nasi panas yang asapnya masih mengepul. Tapi seketika harapanku kandas. Pemilik warung, Tante Nina, belum memasak. Jadilah kita beralih ke mie instan dalam cup. Not bad!

Suasana sesaat setelah pintu kapal dibuka di Pelabuhan Wakai
Tapi waktu berlalu terlalu cepat. Setelah makan dan men-jamak qashar-kan shalat, kami dapat informasi bahwa perahu menuju Kadidiri sudah berangkat. Kabar baiknya, setelah air laut pasang, ada boat milik black marlin – salah satu cottage di Pulau Kadidiri – yang akan berangkat untuk mengangkut air tawar. Kami menumpang di situ. Pukul lima sore, air laut belum cukup pasang untuk boat keluar dari dermaga kayu milik Wakai Cottage. Tapi pengemudinya berbaik hati ‘memaksakan’ boat melewati air yang masih cukup dangkal.

Tiga puluh menit dalam perjalanan awal yang mengagumkan. Alam pun menyambut kami dengan baik. Di sisi kanan dekat pulau yang entah apa namanya, pelangi tersenyum indah. Selamat datang di surga kecil yang dititipkan Tuhan di bumi-Nya yang luas!!!

Pelangi sebagai ucapan selamat datang
Tiba di Pulau Kadidiri, ada tiga cottage yang dipisahkan oleh batas semu pasir putihnya. Lestari Cottage, Black Marlin, dan Kadidiri Paradise. Karena status yang belum menguntungkan, kami memilih untuk menginap di Lestari. Ada dua tipe kamar dengan harga yang berbeda; Rp 100.000 untuk kamar tanpa toilet di dalamnya dan Rp 150.000 untuk kamar dengan toilet di dalamnya. Setelah mempertimbangkan bahwa kami tak terlalu butuh privasi untuk toilet, kami check-in untuk kamar yang berharga Rp 100.000. Kamarnya sederhana, namun nyaman. Dengan satu tempat tidur besar dan dilengkapi dengan kelambu, kami bisa tidur nyenyak semalaman. 

Salah satu kamar di Lesstari Cottage
Di Black Marlin, harga kamar dimulai dari Rp 200.000. Semua harga kamar di cottage yang ada di Kep. Togean dihitung per orang per malam dengan fasilitas tiga kali makan. Peak season biasa terjadi di bulan Juli – Agustus. Jika Anda berniat ke sana pada bulan-bulan tersebut, ada baiknya untuk melakukan reservasi terlebih dahulu. Black Marlin dan Kadidiri Paradise sudah memiliki website resmi, yaitu www.blackmarlindiving.com dan www.kadidiriparadise.com. Jika berniat tinggal di Lestari, silakan hubungi Mr. Aslan di 085399630234.

Senja pertama dari Pulau Kadidiri

Senja pertama di Pulau Kadidiri sangat luar biasa. Kami bahkan sengaja untuk tidak menanggalkan backpack dulu, takut melewatkan senja yang indah. Karena hari belum cukup gelap, kami sempatkan berjalan-jalan melewati Black Marlin dan Kadidiri Paradise. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah anjing-anjing di sana – selain di Lestari – sangat galak. L


Makan malam disajikan di cafeteria. Semua tamu berkumpul di satu meja. Acara makan juga berarti ajang perkenalan. Ada seorang Italia ramah bernama Mauro. Dia sudah hampir enam bulan di Kadidiri. Dia begitu mencintai pulau ini. Ini bukan pertama kalinya dia ke sini. Sudah lebih dari tiga kali kalau tak salah tangkap ucapannya. Lalu ada pasangan muda dari Slovenia. Mereka kebetulan satu kapal dengan kami dari Ampana. Ada juga Pedro, seorang Italia yang galau masalah visa. Ia masih ingin tinggal lebih lama di sini, tapi menurutnya pihak imigrasi mempersulit pengurusan visanya. Cmon, Pedro! You should try to give them more money. Zzzz.  Dan ada keluarga Italia, Mr. Leo dan istrinya, juga dua orang anaknya, Chiara dan Mario, yang cerewet dengan bahasa mereka. Sayang, mereka tak mau difoto. L Menu makannya? Pasti ikan. Karena kebanyakan wisatawan asing tidak suka pedas, jika ingin menuruti lidah Indonesia, minta saja cabe rawit di dapur. Make yours by yourself! J Don’t forget to get information about your day trip.
'Selamat senja' dari Kadidiri
"Bukan tentang waktu yang harus selalu tepat, tapi rasa sesal yang tak perlu ikut merapat." - @Amy_AWP

Rabu, 04 September 2013

Floating in Togean (1) : Riding the Times Down

Pagi yang mellow. Mungkin karena sudah lama tak memikul backpack. Semua perlengkapan sudah siap, termasuk gear baru yang khusus saya siapkan untuk trip kali ini. Iya, hanya dengan satu kali pengalaman snorkeling di tanjung bira tiga tahun lalu, saya nekat miliki snorkeling gear sendiri. Dan keberadaan life jacket di tempat tujuan saya sungguh mengganggu. Apa jadinya tiga hariku nanti kalau saya tidak bisa menyewa life jacket? Sebab perlu dicatat, saya tidak bisa berenang. Sama sekali. Ketika di SMA dulu, pelajaran olahraga untuk nilai ujian sekolah, salah satunya diambil dari berenang. Entah, mungkin karena guru olahraga itu terlalu baik, saya bisa – paling tidak – mendapat nilai standar ujian sekolah. Dan setelah praktik berenang itu, saya tidak pernah lagi mencoba belajar, sampai tiga tahun lalu di tanjung bira. Berbekal rasa penasaran melihat apa yang ada di bawah air, yang bahkan dari atas perahu saja sudah begitu memikat, saya nekat turun. Dengan pelampung pastinya. Dan coba tebak! Bahkan dengan bantuan life jacket pun, saya masih diserang panik sampai harus ‘dituntun’ oleh teman-teman saya. Megap-megap selama beberapa menit pun sudah jadi bagian paling 'biasa'. Tapi, mari lupakan masa lalu. Sekarang saya terlalu excited tentang apa yang akan menjamu saya besok. Dan pukul sepuluh pagi, kendaraan yang saya pesan untuk menuju Ampana, datang tanpa rasa bersalah. Bung, kau sudah menyia-nyiakan satu jam di hidupku.

Peralatan tempur :D
Masih harus menunggu sekitar setengah jam sebelum mobil berkapasitas tujuh penumpang itu benar-benar menuju Ampana. Urusan bagasi penumpang yang ribet diatur menjadi satu-satunya alasan kenapa mobil belum juga siap berangkat. Sepuluh lebih dua puluh, akhirnya.

Pukul satu siang, mobil berhenti di salah satu warung makan di Kilo Lima, Luwuk. Daerah ini sejatinya adalah tempat populer di Luwuk. Sepanjang jalan, Anda bisa memuaskan mata dengan laut yang warnanya bergradasi dan pasir putih tentunya. Umm, mungkin lebih tepat disebut kerikil putih. Jika punya banyak waktu, Anda bisa menunggu matahari ditelan laut ditemani dengan pisang goreng yang baru saja diangkat dari minyak panas. Hahuhahu... Dan jangan lupa sambalnya! Pedis yang membuat Anda menangis, tapi keinginan untuk tambah lagi dan lagi semakin membuat Anda meringis. :9 Karena matahari tepat bertengger di atas kepala, mari lupakan untuk berleha-leha. Penumpang punya waktu sekitar satu jam untuk istirahat. Saya sempat meng-update foto saking punya terlalu banyak waktu untuk sekadar shalat dan makan. Pukul dua, mobil kembali melaju menuju Ampana. Masih ada tiga kecamatan ‘terkenal’ yang harus dilewati; Pagimana, Bunta, dan Nuhon. Saat senja, mobil masih terjebak di jalan yang tak mulus di kecamatan Nuhon. Saya bertanya berapa jam lagi untuk sampai di Ampana, dan supir hanya menjawab “Sabar saja ya?!” Whatta absurd answer!!! Tapi seorang penumpang yang duduk di kursi di belakangku dengan senang hati menjawab, “Sekitar 3 jam lagi, Mba.” What?????

Adzan magrib sudah lama berlalu. Kanan kiri jalan mulai gelap sempurna. Tak ada lagi indahnya batas laut dan langit yang sedari tadi menemani perjalananku. Saya bertelepon ria dengan seorang teman kuliah yang akan menjadi travelmate-ku nanti. Kristi namanya. Dia sudah sejak sore tiba dari Poso. Dia menyuruhku mengecek kapal ferry di pelabuhan Uebone, sebuah daerah yang akan saya lewati sebelum memasuki daerah Ampana kota. Ia sudah mencari tahu jadwal kapal di pelabuhan Ampana dan ternyata tak ada kapal yang menyeberang ke Wakai besok. Saya juga baru mengetahui tentang perbedaan pelabuhan ferry dan kapal kayu seperti KM Puspitasari dan KM Lumba-Lumba. Di beberapa blog yang pernah saya baca, mereka hanya menulis jadwal kapal tanpa memberi info letak pelabuhan yang ternyata berbeda. Jaraknya cukup jauh, sekitar 20 menit antar kedua pelabuhan tersebut.

KMP Tuna Tomini
Jika ingin naik kapal yang nyaman dengan harga murah, silakan pilih ferry KM Tuna Tomini. Dengan Rp 45.000,- Anda bisa duduk nyaman di kursi (lumayan) empuk. Ada tiga kelas dengan harga yang sama untuk rute Ampana – Wakai. Kelas ekonomi dengan AC plus C aka Angin Cepoi Cepoi dan kursi (agak) empuk serta TV 21”, kelas Bisnis 1 dengan ruangan tertutup dan pendingin udara, pastinya bebas asap rokok, dan fasilitas karaoke lagu-lagu jadul, serta sandaran kursi yang adjustable, sehingga memungkinkan penumpang untuk menyetelnya agar bisa tidur telentang. Hanya saja, karena fasilitas karaoke biasa dipakai para ABK dan penumpang, kabin luas dan tertutup ini agak ribut. Terakhir ada kelas bisnis 2 yang lebih nyaman untuk keluarga. Istilahnya, kelas tatami. Di situ, tersedia tempat luas untuk menggelar kasur kapal. Penumpang yang membawa balita biasanya lebih memilih kelas ini agar bisa tidur dengan nyaman. Selain AC plus C, ada juga tambahan kipas angin di dua sisi dinding pada kelas ini. Untuk toilet, tidak perlu khawatir. Setidaknya, jika dibandingkan dengan toilet umum di terminal-terminal, di kapal ini lebih manusiawi. Asal tidak nekat ‘menyetor’ saat ombaknya sedikit besar, Anda bisa keluar dengan selamat. :D

Tarif KMP Tuna Tomini
Ferry Tuna Tomini ini berangkat ke Wakai setiap hari Kamis dan Minggu. Jika Anda akan menyeberang selain dua hari itu, maka pilihannya jatuh pada kapal kayu yang berangkat di pelabuhan Ampana Kota. Tidak sulit mencari pelabuhan ini. Aksesnya dekat dengan terminal. Ada dua kapal yang biasanya melayani rute Ampana – Wakai; KM Puspitasari dan KM Lumba-Lumba. Jika ingin tempat yang sedikit lebih nyaman, silakan pilih Lumba-Lumba. Namun jika ingin kapal yang lebih cepat, Puspitasari adalah pilihan yang tepat. Harga tiketnya Rp 50.000. Jangan berharap bisa duduk nyaman di sini. Sebab yang tersedia hanya kelas ‘tatami’, menggoler bebas di ‘tempat tidur’ dua susun. Atau, silakan pilih tempat duduk di luar beratapkan langit. :D

Setelah memastikan ada kapal yang asyik nongkrong di dermaga, saya pun melanjutkan perjalanan. Rumah senior yang saya tuju. Namanya Pak Ferdian. Temanku, Kristi, baru mengenalnya di Distamben Kab. Poso, ketika dia mendapat proyek di sana. Rumah itu sejatinya hanya ditinggali oleh kedua orang tua Pak Ferdian, karena beliau sudah menetap di Poso bersama keluarganya, dan adiknya, Alim, sedang kuliah di Palu. Tapi ternyata Alim sedang dalam masa libur kuliah, sehingga bisa tinggal lebih lama di Ampana. Pukul delapan malam, Kristi dan Alim sudah menunggu di depan rumah setelah perbincangan sengit di telepon dengan supir mobil yang saya tumpangi. Finally, mana kasur???


Berbekal informasi di blog-blog tentang jam berangkat kapal, pukul 08.30 kami berangkat ke pelabuhan Uebone. Alim dan ibunya berbaik hati mengantar. Tiba di sana, kami langsung ke loket penjualan tiket. Pukul 10 pagi tepat, berangkaaat... Penumpang tidak begitu banyak. Masih banyak kursi kosong sehingga satu penumpang bisa memakai tiga sampai empat kursi untuk tidur nyaman. Di bawah pun, kendaraan hanya beberapa. Ada tiga truk sedang dan motor yang tak sampai 20 unit. Perjalanan 5 jam dimanjakan dengan angin laut dan ombak yang tenang. Setelah sibuk berfoto di sana-sini, pada akhirnya, kami balas dendam untuk tidur karena malam sebelumnya disibukkan dengan cerita ala gadis remaja. Ecieee… :D
Gagahnya merah putih di antara biru
Panas-panasan tetep eksis, GIRLS!!!
Gimana bisa mengabaikan pemandangan kayak gini? :3

"Tak pernah cukup untuk mengagumi keindahan dari screen gadget. Karenanya saya bertekad untuk nekat." - @Amy_AWP 




Selasa, 03 September 2013

Menyapa Aku

"Be brave. Take risks. Nothing can substitute experiences." - Paulo Coelho


Berbekal sedikit keberanian, saya mencoba menyentuh bagian blogger di halaman google-ku. Tak ada resiko sebetulnya. Satu-satunya yang saya takutkan adalah tentang saya yang tak bisa konsisten menulis, meski setengah kapasitas otakku penuh dengan rencana-rencana yang acapkali beranak pinak. Tapi, pada akhirnya lihatlah ini. Entah akan ada yang sekadar singgah mengintip judul, atau berlama-lama mengisi pupil mata, saya mencoba merendahkan angkuh untuk tidak menyimpan segala yang menggenang di ingatan. Katakanlah saya egois, merapal kenangan lewat celah-celah cahaya yang tersisa di depan. Tapi, bukankah ini bukan suatu keharusan? Dan saya pun merdeka untuk menuliskan. Maka, terima kasih untuk setiap perhatian dan pengabaian.

"Segala yang kuharap pada setiap kata adalah kau yang membacanya dengan segenap rasa." - @Amy_AWP