Sabtu, 31 Januari 2015

(Akhirnya) Jatuh Cinta Lagi

Dear Fajar,

Dengan apa kuterjemahkan cara kita mengakhiri ini; satu kisah yang selalu tak mampu kuselesaikan dalam tiga bagian cerita bersambung, malah menghempasku pada dialog senja yang sialnya kemungkinan besar akan usai seiring malam-malam yang akhirnya berhasil meletupkan rindu yang api, menjemput pagi yang menjadikanmu abadi?

Bagaimana kubenarkan caraku yang akhirnya menggesermu dari tempat kau seharusnya tinggal, untuk sebuah tempat ia singgah, yang kuharap bisa menjadi rumah untuk mengeja pulang tanpa membawa ingatan soal kenangan yang begitu hujan?

Pada akhirnya, sialnya lagi, kau mungkin akan terus menjadi tak terganti sebab Januari begitu pancaroba dan ia perlahan sirna bersama berkas-berkas senja hari ini. Tapi, Fajar, berkorbanlah untuk membaca kembang api kami, yang meski mati sebab hujan sehari, tangkainya masih kupegang sampai kini. Dua puluh delapan hari saja, Fajar. Dan aku akan mencintainya hingga entah hari ke berapa.

Jumat, 30 Januari 2015

Kepada Manekin yang Masih Gelisah



Seharusnya kukirim ini seminggu lalu, setelah keningku tumpah di antara jumat dan sabtu yang gamang, sebab ternyata beberapa yang sempat melintas hari itu masih mengingat satu tanggal yang sepatutnya kaurayakan, kata mereka. 

Tapi, tidak, sebab di malam antara jumat dan sabtu itu aku sujud terlalu lama mengais petunjuk tentang yang sepantasnya ada di tumpukan ketiadaan kata, juga karena badai yang terlalu hebat menghantam musim tenangmu selama dua kala tepat di waktu aku harus menyapa segelas doa menjemput kamis yang puasa. 

Maafkan kealpaanku, kumohon.

Sudah kukatakan padamu untuk berhati-hati, Sayangku. Jatuh hati tak sesuka-cita itu setelah kau diporak-porandakan oleh kecewa yang teramat sungguh. Kau buat batas antara impian dan kenyataan, menimpa garis lurus yang kau torehkan berlapis-lapis sebagai peringatan; cukup sampai saat itu saja, pintaku. Saat ketika kau jatuh terlalu jatuh hingga duniamu seakan runtuh tepat di atas kepalamu yang dipenuhi satu nama. Aku bersedih, kau tahu itu. Aku menangisi malam-malam panjang ketika kantuk tak juga bertamu di matamu. Aku meratapi pagi-pagi suram ketika muram kerap bertemu dalam kopimu.

Betapa bandelnya dirimu, Manisku. Dengan sajak yang hanya seujung kuku, kau tak lagi menjejak tanah. Kau bermain dengan kata dan harapan, sementara episode-episode sebelumnya kau hanya penikmat lakon berjuta puisi tentang dia. Kau saksi mereka yang melihatmu dari luar kaca bening, berangkulan tiada geming. Kau sangsi pada hatimu yang batu, sebelum kau tahu jemarinya air yang akhirnya membuatmu benar-benar luluh.

Tapi, Cintaku, tenanglah. Aku punya seribu hiburan untukmu. Kita punya warna lipstik baru, cerahnya mengalahkan sendu musim buruk di belakangmu. Ada lusinan lagu yang dipinjamkan telinga temanku, kau tak akan pernah merasa sendiri. Juga beberapa buku, hadiah dari teman yang begitu baik. Pilih saja yang mana yang kau mau kudongengkan. Kurang? Baiklah. Kubisikkan kau rencana-rencana rahasia. Beberapa sempat kupindah-turunkan di daftar rencanaku tahun ini, demimu yang jatuh hati, tapi mari kita membuat urutan lagi. Tempat mana yang ingin lebih dulu kau kunjungi?

Jadi, berhentilah gelisah. Kasih memang selalu punya kisah, tapi kau akan selalu punya rumah. Untuk menidurkan segala lelah dan menetapkan hati pada satu arah.

Selamat ulang tahun seminggu yang lalu, Manekin-ku sayang...
 




Yang selalu ada di belakang bayanganmu,
@amy_awp

Kamis, 29 Januari 2015

Sekian Alasan Aku Harus Menyuratimu

aku ingin menulis surat
sepanjang tinta yang meresap
di pori-pori kertas berjuta kerat
sebab sajak tak lagi mampu
menggalas milyaran rindu
yang bertamu begitu penuh

aku ingin menulis surat
sepanjang lelah jemari setelah enam kali
pagi yang sulit
sebab puisi terlalu mewah
untuk kata-kata sederhana
dari pikiran perempuan
yang sungguh rumit

di surat itu kelak kutuliskan rapih
kata-kata seindah kaligrafi
yang pernah dibuatkan kawan semasa sekolah
agar matamu tinggal lebih lama
di antara barisan jeda
yang merunut sejarah percakapan
tempat kita tak sengaja
tersandung pada satu kata
yang mereka sebut cinta

aku akan berpikir lama
sebelum beberapa kertas harus
menengok tempat sampah
dengan sepaket gerutu soal
tulisan yang tak sempurna
atau emosi yang tetiba meletus
membicarakan cuaca paling gerah
di antara kenangan yang mencoba kekal

pada akhirnya
yang terekam di dalam surat
yang habiskan kertas berjuta kerat
ialah hal paling tak penting
yang menjadi sedemikian genting
untuk sebuah maha rencana
yang mereka sebut cinta

mungkin aku akan bertanya
warna apa yang paling kau suka
selain merah yang kerap
berakhir di kemejamu
dan sisa cahaya yang acap
menemani kopimu
sebab sebuah amplop yang akan meringkas
milyaran rindu yang bertamu terlalu lekas
haruslah dikemas dengan pikir
yang membuatnya jadi emas

akan kupercayakan rindu yang begitu penuh
pada sebuah kotak berwarna merah
yang kucari pada minggu yang ramah
setelah berkilo abu jalanan
tempas menggerus roda sepedaku

lalu aku merapal namamu
pelan-pelan
ketika mulut kotak menelan
rindu

kelak kubayangkan kau di pagi hari
dengan secangkir kopi di tangan kiri
bertanya-tanya kepada seorang tua
bersama peluh dan keluh yang terlalu dini
tentang jalan kota yang kian penuh
untuknya dan sepeda motor yang warnanya
persis sama dengan senja yang pernah
kita bayangkan di antara ribuan detik
saat satu garis berkedip-kedip

siapakah yang begitu purwa
mengirim paket rindu dalam amplop bermilyar kata?

kemudian keningmu berkerut
membaca nama di kertas yang terlanjur kusut
sebelum menyapa tumpukan kisah di dekat
keranjang baju kotor yang hampir berlumut