Rabu, 26 Februari 2014

Kisah Sebuah Sesal (Bagian 2) : Mengecup Suaramu

“You don't love someone for their looks, or their clothes, or for their fancy car, but because they sing a song only you can hear.” - Helen Keller


Entah ini sudah detik ke berapa. Aku masih saja duduk di samping meja telepon, menunggu keberanian singgah sebentar di tanganku yang sudah mencumbu dua belas tombol di bawahnya. Apakah ini terlalu pagi? Apakah ia sudah bangun? Aah, tentu saja ia belum bangun. Aku terkekeh pelan. Lalu, jika dering teleponku yang membangunkannya, seperti apa suara yang akan menyapaku? Apa mungkin ia akan kesal karena teleponku? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tetiba menghantamku.

“Ayolah, Rey! Kau hanya perlu mengangkat gagang telepon, menekan sembilan tombol, dan serahkan semuanya pada waktu.” Ucapku memberi semangat pada organisme yang sedari tadi belum juga bertemu matahari.

“Halo?!” Itu dia. Aku berani bertaruh ia baru saja bangun tidur. Suaranya sedikit serak. Betapa itu membuang segala tanda tanya yang sudah kupanen dua hari terkahir ini. Kubayangkan wajah kesalnya, seperti yang biasa ia tampakkan jika aku terlalu ngotot dengan pendapatku dalam diskusi di kelas. Aku tersenyum. Hei, Rey. Kau merindukannya.

Lima belas menit…

Setengah jam…

Dua jam…

“Aku belum sarapan.” Ujarnya pelan.

Dan itu seketika melemparku kembali ke Bumi. Iya. Aku bahkan tak tahu apa yang sudah kukatakan selama dua kali enam puluh menit itu. Yang kutahu, aku bahagia. Beberapa kalimatnya muncul seperti slide film di kepalaku. Tentu saja, aku mampu membayangkan bagaimana gingsulnya terlihat samar ketika yang kudengar di sini hanya tawa pelannya. Atau pipinya yang menggembung ketika ia mulai merasa percakapan kami mulai tak masuk akal. Atau dahinya yang mengernyit karena merasa mendengar sesuatu yang aneh. Kenapa ia jadi begitu cantik?

***

Aku baru saja mulai mengerjakan setumpuk tugas dari sekolah. Angka dan segala bentuknya yang mulai terlihat tak beraturan terhampar begitu saja di atas meja. Aku menemukan beberapa, oh tidak, aku menemukan banyak alasan untuk meneleponnya kali ini. Soal ini yang aku tak mengerti, apa maksud pertanyaan nomor sekian, dan hal-hal lain yang mulai terdengar masuk akal. Dan telepon rumah kini seperti candu yang terus mengerling ke arahku seakan ia punya mata.

“Rey, berkemaslah. Kita akan menjenguk kakakmu.” Suara Mama. Dari lantai atas. Seperti tanda. Terburu aku menekan nomor teleponnya. Dan, hey, aku menghapalnya di luar kepala. Ini prestasi.

“Halo?!” Suaranya semakin akrab. Terdengar renyah. Ia mungkin sedang melakukan sesuatu yang disukainya sebelum mengangkat teleponku.

“Rey’s here. What are you doing?”

“Answering your call.” Aku tertawa. Kudengar ia pun tertawa pelan di sana.
“H-2, huh? Have you prepared everything?”

“No, not yet. You? Have you finished the tasks?” Aku ingin ia bertanya lebih banyak. Sebanyak mungkin sampai aku kehabisan jawaban. Tapi, jelas saja, setiap pertanyaan yang muncul darinya pasti berhubungan dengan tugas matemika yang akan jadi oleh-oleh liburan kali ini.

“I will. By the way, I’m going to see my brother. Today. Umm… about an hour from now, exactly.” Aku belajar berpamitan. Atau belajar mengatakan segala hal yang sudah, sedang, dan akan kulakukan, tepatnya.

“Great!!! It will be a nice short trip with your family. Don’t forget to put your seatbelt on!” Aku betul-betul menghayati tawanya yang hampir tak kedengaran.

“Yeah. Of course. Ada lagi?”

“Oleh-oleh?” Jawabnya pada akhirnya setelah beberapa detik terdiam. Jawaban yang entah bagaimana, kusisipkan tanda tanya di ujungnya.


***


Aku belum melihatnya pagi ini. Sudah kutelusuri wajah-wajah di dua belas meja di bagian selatan. Tak ada. Aku juga tak melihatnya kemarin siang, kemarin sore, atau bahkan kemarin malam, ketika para murid harusnya sudah lengkap di aula makan untuk resmi kembali belajar keesokan harinya. Dan pagi ini semua jelas. Ia tak ada. Entah ia belum tiba, atau ia sudah di asrama, tapi sedang sakit sehingga tak bisa masuk sekolah. Dan untuk dua alasan itu, harusnya Risa memberitahuku. Mataku liar memicing, mencoba mendapatkan sosok Risa di jangkauanku.

“Dia belum datang. Kau mau aku mencarikan informasi untukmu ke wali kelas?” tanyanya prihatin.

“Tidak perlu. Terima kasih.” Aku berjalan mengikuti teman-temanku yang lain menuju kelas. Hari ini akan buruk, kataku dalam hati.

Sesekali, aku melihat kursinya. Seharusnya ia sedang duduk di situ, menekuni buku catatannya sembari memilin ujung rambutnya dengan pulpen. Sementara Pak Abdul berjalan ke meja guru, kami semua tahu akhir dari liburan singkat kami adalah tes Matematika. Kami semua pun tahu, ikut tes atau tidak, Sandra akan selalu bisa mendapat nilai yang bagus di akhir semester. Ia tak begitu membutuhkan coretan angka di buku nilainya kali ini. Tapi aku sungguh membutuhkannya. Bukan sebagai tempat menyontek, atau donator jawaban. Aku hanya ingin mendamaikan hatiku. Itu saja.

“Assalaamu’alaykuum…” Aku seketika melihat ke arah suara. Di sana ia. Tersengal dalam jeda salam yang tergesa. Di sana ia. Mengalahkan cahaya di depan pintu yang terbuka. Di sana ia. Meredakan cemas yang menggunung di sudut kelas. Ia mendapati mataku ketika berjalan ke kursinya. Aku takluk hingga tak sempat tersenyum. Semoga ia tak kecewa.


***


Aku sungguh berdoa untuknya. Jika itu saja tak cukup, aku tak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan. Dan Tuhan menjawab segalanya tepat waktu. Tepat ketika beberapa teman bertanya apa isi tas besar yang pertama kali mereka lihat di aula makan. Tepat ketika aku sadar bahwa ia tak ikut makan malam bersama yang lain. Tepat ketika aku begitu kecewa, lalu memutuskan ke ruang music untuk sekali lagi mendamaikan hatiku. Tepat pada waktu itu. Aku bisa mengenali hoodie coklatnya yang kebesaran dan tudung yang menutupi setengah wajahnya. Aku bisa mengenali postur tubuhnya ketika duduk. Bahkan, jika aku berada dalan jarak yang cukup dekat, kupastikan aku bisa mencium aroma parfum yang sudah kuhapal. Yang tidak kukenali hanyalah suara yang sedang berlomba dengan udara di sekitarku. Dan jemari kecilnya yang menari di antara enam senar, sungguh, begitu gemulai.

Aku bertahan di depan pintu. Sebisa mungkin menahan nafas, sebab mungkin saja ia bisa mendengarnya dalam sunyi yang bening malam mini. Tak ada siapapun di sini. Selain ia yang begitu bercahaya meredakan lampu 18 watt yang tergantung tanpa fitting yang kokoh. Aku bahkan tak menganggap diriku sebagai siapapun, selain penikmat yang jatuh karena telinga yang terlanjur lapar.

Lagunya selesai. Dua bait terakhir Chasing Cars tak usai. Ia berhenti. Tepat di ‘in your perfect eyes, they’re all I can see’. Lalu mati.

Aku bergeming. Menghitung detik yang terbuang percuma dalam hening. Tapi dengan segala patuh, aku rela memungut waktu yang telah jatuh. Kukumpulkan kembali, lalu kubiarkan lagi ia bernyanyi sendiri. Sementara angin semakin intim memeluk, aku bertanya-tanya apakah di sana hangat untuknya cukup. Kukira-kira tebal hoodie-nya. Tanpa sadar, aku berdoa dalam hati semoga ia tak kedinginan. Astaga. Aku jadi sering berdoa rupanya. Bisakah kali ini kutambahi dengan harapan agar ia menjadi milikku?

“Sudah lama berdiri di situ? Kenapa tak masuk saja?” suaranya mengagetkanku. Aku belum selesai meminta doa yang terakhir padahal.

“Aku tak ingin menganggu. Tapi ternyata, mungkin kehadiranku membuatmu tak menyelesaikan lagunya. Maaf.” Dia berbalik. Ke arahku. Tapi tidak benar-benar menatapku. Kuperhatikan jari-jari tangan kirinya menggesek-gesek senar tak beraturan. Ia menggigit bibir bawahnya, seakan menahan apa yang ingin tumpah. Adakah yang ingin kau tanyakan, aku bertanya dalam hati.

“Kau tak makan malam? Sedang diet?” Pertanyaan bodoh. Iya. Pertanyaan keduaku. Bodoh sekali.

“Tidak, untuk keduanya.” Orang biasa akan berpikir bahwa jawaban pertama adalah ‘iya, aku tak makan malam.’ Tapi orang sepertinya, kutebak, jawaban pertama adalah ‘tidak, aku makan malam.’

“Kau mau meneruskan lagumu? Aku bisa pergi jika ternyata aku mengganggu.”

Ia benar-benar menatapku kali ini. Tiga detik. Lalu ia kembali membalikkan badan, meninggalkan jawaban di belakangnya, tepat di mataku yang tak beranjak dari punggungnya. Aku tak pergi. Aku pun tak masuk duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, di belakang seperangkat drum yang beberapa kali pernah kucoba mainkan. Aku hanya diam di tempatku semula. Menyelesaikan setiap nada yang akhirnya selesai. November Rain. It’s November. And it’s rain.



“Aku ingin menjadi satu-satunya jeda di antara suara, ketika kita hanya sejarak senyap di ujung dekap.”




Bagian 1 bisa dibaca DI SINI

Minggu, 02 Februari 2014

Minggu Para Buruh

Dear...

Bagaimana minggumu? Bukankah ini waktunya kau sedikit lebih lama di tempat tidur, atau mengulur waktu di bathtubmu? Sementara kertas kertas berserakan di mejaku. Lalu peluh perlahan lolos dari alas jilbabku. Kau tetap bergelung di bawah selimut hangatmu, mengabaikan lapan belas derajat yang percuma.

Dear...

Bagaimana minggumu? Bukankah kau harusnya bercerita tentang tempat tempat indah yang sempat singgah di pijakmu, atau menebar gambar gambar yang di dalamnya kau tersenyum lebar? Sementara jemariku begitu ingin lepas dari tuts tuts menyebalkan. Lalu mataku meminta perlindungan dari layar di depan. Kau tetap melepas titik terjauhmu di hamparan biru surga, khilaf pada terik yang menerbitkan dahaga.

Dear...

Mingguku. Baru saja berakhir di kantor. Dengan cerita buruk di ujungnya. Semoga tidak jika itu tentangmu.

       -- @Amy_AWP