“You don't love someone for their looks, or their clothes, or for their fancy car, but because they sing a song only you can hear.” - Helen Keller
Entah ini sudah detik ke berapa.
Aku masih saja duduk di samping meja telepon, menunggu keberanian singgah
sebentar di tanganku yang sudah mencumbu dua belas tombol di bawahnya.
Apakah ini terlalu pagi? Apakah ia sudah
bangun? Aah, tentu saja ia belum bangun. Aku terkekeh pelan
. Lalu, jika dering teleponku yang
membangunkannya, seperti apa suara yang akan menyapaku? Apa mungkin ia akan
kesal karena teleponku? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tetiba
menghantamku.
“Ayolah, Rey! Kau hanya perlu
mengangkat gagang telepon, menekan sembilan tombol, dan serahkan semuanya pada
waktu.” Ucapku memberi semangat pada organisme yang sedari tadi belum juga
bertemu matahari.
“Halo?!” Itu dia. Aku berani
bertaruh ia baru saja bangun tidur. Suaranya sedikit serak. Betapa itu membuang
segala tanda tanya yang sudah kupanen dua hari terkahir ini. Kubayangkan wajah
kesalnya, seperti yang biasa ia tampakkan jika aku terlalu ngotot dengan
pendapatku dalam diskusi di kelas. Aku tersenyum. Hei, Rey. Kau merindukannya.
Lima belas menit…
Setengah jam…
Dua jam…
“Aku belum sarapan.” Ujarnya pelan.
Dan itu seketika melemparku
kembali ke Bumi. Iya. Aku bahkan tak tahu apa yang sudah kukatakan selama dua
kali enam puluh menit itu. Yang kutahu, aku bahagia. Beberapa kalimatnya muncul
seperti slide film di kepalaku. Tentu saja, aku mampu membayangkan bagaimana gingsulnya
terlihat samar ketika yang kudengar di sini hanya tawa pelannya. Atau pipinya
yang menggembung ketika ia mulai merasa percakapan kami mulai tak masuk akal.
Atau dahinya yang mengernyit karena merasa mendengar sesuatu yang aneh. Kenapa
ia jadi begitu cantik?
***
Aku baru saja mulai mengerjakan
setumpuk tugas dari sekolah. Angka dan segala bentuknya yang mulai terlihat tak
beraturan terhampar begitu saja di atas meja. Aku menemukan beberapa, oh tidak,
aku menemukan banyak alasan untuk meneleponnya kali ini. Soal ini yang aku tak
mengerti, apa maksud pertanyaan nomor sekian, dan hal-hal lain yang mulai
terdengar masuk akal. Dan telepon rumah kini seperti candu yang terus
mengerling ke arahku seakan ia punya mata.
“Rey, berkemaslah. Kita akan
menjenguk kakakmu.” Suara Mama. Dari lantai atas. Seperti tanda. Terburu aku
menekan nomor teleponnya. Dan, hey, aku menghapalnya di luar kepala. Ini
prestasi.
“Halo?!” Suaranya semakin akrab.
Terdengar renyah. Ia mungkin sedang melakukan sesuatu yang disukainya sebelum
mengangkat teleponku.
“Rey’s here. What are you doing?”
“Answering your call.” Aku
tertawa. Kudengar ia pun tertawa pelan di sana.
“H-2, huh? Have you prepared
everything?”
“No, not yet. You? Have you
finished the tasks?” Aku ingin ia bertanya lebih banyak. Sebanyak mungkin
sampai aku kehabisan jawaban. Tapi, jelas saja, setiap pertanyaan yang muncul
darinya pasti berhubungan dengan tugas matemika yang akan jadi oleh-oleh
liburan kali ini.
“I will. By the way, I’m going to
see my brother. Today. Umm… about an hour from now, exactly.” Aku belajar
berpamitan. Atau belajar mengatakan segala hal yang sudah, sedang, dan akan
kulakukan, tepatnya.
“Great!!! It will be a nice short
trip with your family. Don’t forget to put your seatbelt on!” Aku betul-betul
menghayati tawanya yang hampir tak kedengaran.
“Yeah. Of course. Ada lagi?”
“Oleh-oleh?” Jawabnya pada
akhirnya setelah beberapa detik terdiam. Jawaban yang entah bagaimana,
kusisipkan tanda tanya di ujungnya.
***
Aku belum melihatnya pagi ini.
Sudah kutelusuri wajah-wajah di dua belas meja di bagian selatan. Tak ada. Aku
juga tak melihatnya kemarin siang, kemarin sore, atau bahkan kemarin malam,
ketika para murid harusnya sudah lengkap di aula makan untuk resmi kembali
belajar keesokan harinya. Dan pagi ini semua jelas. Ia tak ada. Entah ia belum
tiba, atau ia sudah di asrama, tapi sedang sakit sehingga tak bisa masuk sekolah.
Dan untuk dua alasan itu, harusnya Risa memberitahuku. Mataku liar memicing,
mencoba mendapatkan sosok Risa di jangkauanku.
“Dia belum datang. Kau mau aku
mencarikan informasi untukmu ke wali kelas?” tanyanya prihatin.
“Tidak perlu. Terima kasih.” Aku
berjalan mengikuti teman-temanku yang lain menuju kelas. Hari ini akan buruk,
kataku dalam hati.
Sesekali, aku melihat kursinya.
Seharusnya ia sedang duduk di situ, menekuni buku catatannya sembari memilin
ujung rambutnya dengan pulpen. Sementara Pak Abdul berjalan ke meja guru, kami
semua tahu akhir dari liburan singkat kami adalah tes Matematika. Kami semua
pun tahu, ikut tes atau tidak, Sandra akan selalu bisa mendapat nilai yang
bagus di akhir semester. Ia tak begitu membutuhkan coretan angka di buku
nilainya kali ini. Tapi aku sungguh membutuhkannya. Bukan sebagai tempat
menyontek, atau donator jawaban. Aku hanya ingin mendamaikan hatiku. Itu saja.
“Assalaamu’alaykuum…” Aku
seketika melihat ke arah suara. Di sana ia. Tersengal dalam jeda salam yang
tergesa. Di sana ia. Mengalahkan cahaya di depan pintu yang terbuka. Di sana
ia. Meredakan cemas yang menggunung di sudut kelas. Ia mendapati mataku ketika
berjalan ke kursinya. Aku takluk hingga tak sempat tersenyum. Semoga ia tak
kecewa.
***
Aku sungguh berdoa untuknya. Jika
itu saja tak cukup, aku tak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan. Dan Tuhan
menjawab segalanya tepat waktu. Tepat ketika beberapa teman bertanya apa isi
tas besar yang pertama kali mereka lihat di aula makan. Tepat ketika aku sadar
bahwa ia tak ikut makan malam bersama yang lain. Tepat ketika aku begitu
kecewa, lalu memutuskan ke ruang music untuk sekali lagi mendamaikan hatiku.
Tepat pada waktu itu. Aku bisa mengenali hoodie coklatnya yang kebesaran dan
tudung yang menutupi setengah wajahnya. Aku bisa mengenali postur tubuhnya
ketika duduk. Bahkan, jika aku berada dalan jarak yang cukup dekat, kupastikan
aku bisa mencium aroma parfum yang sudah kuhapal. Yang tidak kukenali hanyalah
suara yang sedang berlomba dengan udara di sekitarku. Dan jemari kecilnya yang
menari di antara enam senar, sungguh, begitu gemulai.
Aku bertahan di depan pintu.
Sebisa mungkin menahan nafas, sebab mungkin saja ia bisa mendengarnya dalam
sunyi yang bening malam mini. Tak ada siapapun di sini. Selain ia yang begitu
bercahaya meredakan lampu 18 watt yang tergantung tanpa fitting yang kokoh. Aku
bahkan tak menganggap diriku sebagai siapapun, selain penikmat yang jatuh karena
telinga yang terlanjur lapar.
Lagunya selesai. Dua bait
terakhir Chasing Cars tak usai. Ia berhenti. Tepat di ‘in your perfect eyes,
they’re all I can see’. Lalu mati.
Aku bergeming. Menghitung detik
yang terbuang percuma dalam hening. Tapi dengan segala patuh, aku rela memungut
waktu yang telah jatuh. Kukumpulkan kembali, lalu kubiarkan lagi ia bernyanyi
sendiri. Sementara angin semakin intim memeluk, aku bertanya-tanya apakah di
sana hangat untuknya cukup. Kukira-kira tebal hoodie-nya. Tanpa sadar, aku
berdoa dalam hati semoga ia tak kedinginan. Astaga.
Aku jadi sering berdoa rupanya. Bisakah kali ini kutambahi dengan harapan agar
ia menjadi milikku?
“Sudah lama berdiri di situ?
Kenapa tak masuk saja?” suaranya mengagetkanku. Aku belum selesai meminta doa
yang terakhir padahal.
“Aku tak ingin menganggu. Tapi
ternyata, mungkin kehadiranku membuatmu tak menyelesaikan lagunya. Maaf.” Dia
berbalik. Ke arahku. Tapi tidak benar-benar menatapku. Kuperhatikan jari-jari
tangan kirinya menggesek-gesek senar tak beraturan. Ia menggigit bibir
bawahnya, seakan menahan apa yang ingin tumpah. Adakah yang ingin kau tanyakan, aku bertanya dalam hati.
“Kau tak makan malam? Sedang
diet?” Pertanyaan bodoh. Iya. Pertanyaan keduaku. Bodoh sekali.
“Tidak, untuk keduanya.” Orang
biasa akan berpikir bahwa jawaban pertama adalah ‘iya, aku tak makan malam.’
Tapi orang sepertinya, kutebak, jawaban pertama adalah ‘tidak, aku makan
malam.’
“Kau mau meneruskan lagumu? Aku
bisa pergi jika ternyata aku mengganggu.”
Ia benar-benar menatapku kali ini. Tiga detik.
Lalu ia kembali membalikkan badan, meninggalkan jawaban di belakangnya, tepat
di mataku yang tak beranjak dari punggungnya. Aku tak pergi. Aku pun tak masuk
duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, di belakang seperangkat drum yang
beberapa kali pernah kucoba mainkan. Aku hanya diam di tempatku semula.
Menyelesaikan setiap nada yang akhirnya selesai. November Rain. It’s November.
And it’s rain.
“Aku ingin menjadi satu-satunya
jeda di antara suara, ketika kita hanya sejarak senyap di ujung dekap.”