Aku mengingatmu subuh tadi
Saat surya belum nampak
dan udara memeluk seerat nadi
Memanggil percakapan yang terbalas dengan serak
Di pintu yang penuh karat
Kita yang satu sekarat
Aku menjengukmu pagi tadi
Ketika celah cahaya jatuh di tempat tidur
menggulung suara yang pelan mati
Rindu tak sanggup gugur
Sementara kita bukan kita lagi
Mengernyit hati sebab dua dulu
tinggal aku dan kamu satu satu
Aku mencoba abai siang tadi
Setelah matahari yang sepenggalah
Menyurutkan langkah
Mengikuti hati
Sampai jarum matahari menusuk
Membuyarkan kenangan yang tersusun rapi
Pecah ia berserakan di ubin putih
Merah berdarah sampaikan luka
Basah bernanah akhirnya pasrah
Aku, sekali lagi, mengingatmu sore tadi
Kau jatuh di sampingku
Di bibir pantai yang beku
Melupa hujan yang singgah di anak rambutmu
Sebelum di dekat matamu ia luruh
Sementara badai tak berhenti di sini
Buram inderaku menangkap wujud
yang sebabnya aku pernah lama bersujud
Lalu mungkinkah aku alpa malam ini?
Ketika lilin di sudut kamarku mulai redup
Dan hujan pelan berhenti
Aku menunggu pesanmu dalam gugup
Memutar piringan hitam yang tak pernah usai
di kepalaku dalam diam
Maka beritahu aku, kapan waktu yang tepat untuk melupamu?