Senin, 30 Desember 2013

Kapan Waktu yang Tepat untuk Melupamu?

Aku mengingatmu subuh tadi
Saat surya belum nampak
dan udara memeluk seerat nadi
Memanggil percakapan yang terbalas dengan serak
Di pintu yang penuh karat
Kita yang satu sekarat

Aku menjengukmu pagi tadi
Ketika celah cahaya jatuh di tempat tidur
menggulung suara yang pelan mati
Rindu tak sanggup gugur
Sementara kita bukan kita lagi
Mengernyit hati sebab dua dulu
tinggal aku dan kamu satu satu

Aku mencoba abai siang tadi
Setelah matahari yang sepenggalah
Menyurutkan langkah
Mengikuti hati
Sampai jarum matahari menusuk
Membuyarkan kenangan yang tersusun rapi
Pecah ia berserakan di ubin putih
Merah berdarah sampaikan luka
Basah bernanah akhirnya pasrah

Aku, sekali lagi, mengingatmu sore tadi
Kau jatuh di sampingku
Di bibir pantai yang beku
Melupa hujan yang singgah di anak rambutmu
Sebelum di dekat matamu ia luruh
Sementara badai tak berhenti di sini
Buram inderaku menangkap wujud
yang sebabnya aku pernah lama bersujud

Lalu mungkinkah aku alpa malam ini?
Ketika lilin di sudut kamarku mulai redup
Dan hujan pelan berhenti
Aku menunggu pesanmu dalam gugup
Memutar piringan hitam yang tak pernah usai
di kepalaku dalam diam

Maka beritahu aku, kapan waktu yang tepat untuk melupamu?

Jumat, 27 Desember 2013

Surat Cinta yang Tak Akan Pernah Sempat Dibaca (3)

Kepada Lelaki yang Bunganya Tak Pernah Sampai


Apa kabar? Baik-baikkah? Seharusnya begitu. Harus seperti itu. Tak usah menduga-duga siapa yang begitu lancang menulis ini. Hingga aku mengirim ini pun, aku tak sadar iblis mana yang sedang lewat di kepalaku. Delapan lagu yang dihimpun dalam Prospekt's March mungkin mengetuk lagi pintu ingatanku. Kau tahu, aku tak pandai melupakan. Pun tak pandai mendendam. Tenang saja. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Tak ada. Sebab tak ada yang bisa mencegahku selalu mendekam, di situ, di pelukanmu yang dalam, kala itu. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Kemudian aku berpikir, setelah hampir tiga kali tiga enam lima, aku bisa sedikit jujur. Bukankah yang kita anggap sakit, setelah digerus waktu, itu akan lebih bisa melahirkan tawa? Dan ya, aku hanya terlalu pintar memendam. Sehingga bahagia sempat kuregang.

Adalah kesalahan, menerima pernyataan ketika diliputi kesendirian. Adalah kesalahan, mendekatkan rasa yang tak sempat berkenalan. Adalah kesalahan, memberi segala pada yang tak punya rasa bersalah. Bukan ikhlas, tapi pasrah. Adalah ketegaran, menyaksikan waktu yang dipermainkan. Adalah ketegaran, bertahan ketika tak dipertahankan. Adalah ketegaran, melepaskan ketika hati belum diselesaikan. Bukan tak rela, hanya terlalu sakit.

Aku selalu berkata pada hati yang tak pernah berhati-hati ini, kau hanya orang baik yang kebetulan singgah. Jauh di dalamnya, aku berusaha pulih, sebab sakit yang terlalu parah. Pada akhirnya, kau juga yang menyembuhkan.

Tak ada yang salah sebenarnya. Seharusnya. Kita, terlalu-ku, dan alasanmu. Tak ada yang salah. Tapi bagaimana kau menyembunyikan orang lain di balik alasanmu, aku sungguh bertepuk tangan. Pada akhirnya, bukankah itu sesuai dengan janji kita? Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat. Kita berdua hanya pion-pion catur yang dimainkan tangan-tangan. Dan orang-orang terdekatmu adalah tuhan. Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat.

Aku tak akan minta maaf. Bahkan aku tak akan meminta maaf karena tak meminta maaf. Sebab aku terlanjur merendah, hanya menyisakan sedikit jarak dengan tanah. Kepalaku, kau tahu. Di tempat kau selalu kupuja kemudian kucaci. Di tempat kau menaruh cinta kemudian benci. Di tempat yang pada akhirnya dengan hidup aku berdamai.

Sungguh aku berdamai. Sehingga aku berterima kasih. Untuk setiap detik, untuk setiap titik. Di waktu dan tempat yang dijejaki kenangan, pada berlembar foto yang pada akhirnya terbuang, dan lagu yang pintar bercerita. Terima kasih. Untuk mengajariku tentang tegar, tentang sabar. Tentang jalan menuju puncak... Aku sungguh berterima kasih untuk ini.

Bagaimanapun, kita hanya berlembar-lembar kertas usang. Pada akhirnya termakan waktu yang lancang. Dengan apa itu terganti, tak ada yang tahu. Belum ada yang tahu.

Tapi aku berduka sungguh, untuk apapun yang membuat hidupmu sesaat keruh. Sakitmu, kecewamu...

Maka kumohon, Berbahagialah. Tetaplah bahagia. Tak perlu lagi keningmu, yang bahkan dalam tidur, berkerut. Berbahagialah. Tetaplah bahagia, Serupa tawa lepas anak-anak yang tak pernah surut.




Salam, 
Yang pernah menulis berlembar-lembar cerita bersamamu

Sabtu, 14 Desember 2013

Tuan, Pesan Ini Untuknya

Temui ia dan sampaikan salamku...
Salam terdalam dari hati yang meradang,
makin kelam dalam petang,
hingga lelap di pelukan malam.

Temui ia dan katakan padanya…
bagaimana sesal mencabik,
hingga mencekik,
dulu… ketika peluk terganti doa.

Temui ia dan ceritakan padanya..
bagaimana rindu menjadi biru,
makin sendu dalam subuh yang meng-alu,
hingga menunggu menjadi abu.
Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana mengkulduskan melodinya,
mensucikan tuts-tutsnya,
menunggu untuk bernyanyi berdua.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana derai seperti rintik,
pelan biar tak terdengar,
tak terdengar biar tak terluka.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana isak yang menyesak,
sunyi namun pedih…

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana duduk menikmati gambar begitu mengasyikkan,
hingga kawan menepuk pundak dan menyadarkan,
berlama-lama dalam lampau itu menyedihkan.

Temui ia dan ceritakan padanya…
bagaimana harapan itu terbang,
ketika dua sosok hanya terhenti dalam mengenang,
diam… lalu saling melambaikan tangan.

Temui ia dan ceritakan padanya…
sakitnya menonton film sedih,
yang tak jernih terputar dalam kini.
Meski terulang, berharap akhir cerita yang berbeda.

Temui ia dan ceritakan padanya…
ingin yang meledak,
ingin yang memeluk,
ingin yang mengikat…

Kemudian temui ia dan katakan padanya…
betapa inginnya kaki bertahan,
dalam tegar.
Bukan cobaan, hanya waktu yang terlalu lama.
Lalu katakan padanya…
menyerahku dalam lelahku,
ketika tak kunjung kembali peluk itu,
ketika tak jua abadi lingkaran di kalender kami.
Dan sampaikan salamku…
salam indah seperti doa,
dari hati yang mencoba putih.
Dan katakan padanya…
temui aku dalam senyum,
di mimpiku selanjutnya.
Biar kulambaikan tangan sekali lagi,
kemudian akan kujabat tangannya lagi,
sebelum aku berbalik lagi,
berikhtiar lagi…
Juga ceritakan padanya…
aku berbisik padamu,
"Sayang, itu lembaran hitam putihku. Kini, kita tak sekedar dua warna."

Sabtu, 07 Desember 2013

Percakapan Siang

"Kesamaan antara dua orang tidak membuat mereka berjodoh."

Siang itu biasa saja sebetulnya, sampai seorang sahabat membuat pernyataan lewat sambungan maya di rentang ribuan kilo.
"Kamu sama dia aja. Kalian banyak kesamaan. Sama sama suka nulis... blablabla."

Sebelumnya, sempat terjadi percakapan lain di antara saya dan sahabat lainnya. Ketika seseorang menyukaiku dan saya berkata bahwa saya takut jatuh kepadanya, ia membalasnya dengan sekian kata; tentang kami yang sama.

Kalimat "kita diciptakan beda beda, biar bisa saling melengkapi" ini sudah terlalu umum disampaikan ketika seseorang mengeluh tentang bagaimana orang yang dikenalnya begitu berbeda dalam beberapa hal. Tapi, untuk setiap perbedaan, mungkin akan dibayar mahal oleh yang acap mengalah. Sementara ego seseorang kadang membunuh hal yang sudah dibangun sejak lama. Atau ketika diskusi berubah menjadi debat dan tak berakhir dalam dekap, apa yang bisa diberi seorang kalap lewat pikiran yang terlanjur gelap? Sampai kemudian itu berakhir, yang tinggal semata sesal.

Dan tentang kesamaan, bagaimana jika sepuluh tahun kemudian tak ada lagi hal hal yang bisa dibagi, sebab dua orang yang telah saling mengetahui? Apa yang tersisa di jeda sebelum salah satu menarik selimut selain tempat tidur, pelukan, atau ciuman? Atau ketika cerita yang bisa ditukar tinggal tentang kenangan yang diperjualbelikan? Akhirnya, beda hanya perkara kelamin yang lain eja.

"Apa yang kucari adalah cerita... tentang segala catatan dalam kata, nada, dan jejak langkah. Tapi, Tuhan tahu yang kubutuhkan pada akhirnya adalah jannah."

 

Rabu, 04 Desember 2013

Kisah Sebuah Sesal (Bagian 1) : Bertemu Matamu

"Dua puluh tahun dari sekarang, kita akan lebih menyesal atas apa yang tidak pernah kita lakukan, bukan atas apa yang kita lakukan walaupun itu adalah kesalahan." -- Tere Liye dalam Moga Bunda Disayang Allah

Aku yakin seorang Tere Liye bukanlah yang pertama yang berpikir demikian. Hanya saja, tetiba aku baru menyadari arti kalimat itu tepat ketika aku baru selesai menghabiskan lembaran kata-katanya. Dan ternyata aku tak perlu menunggu dua puluh tahun untuk mencicipi penyesalan.

****

Aku baru melangkahkan kaki keluar dari mobil biru yang kutumpangi bersama lima orang asing di dalamnya. Satu-satunya yang kulihat adalah deretan manusia berbaju biru yang kubayangkan sedang menyambut tamu agung. Mereka berpakaian sangat rapi, setelan jas berwarana biru terang dengan sepatu pantofel hitam mengkilat, ditambah lagi baret biru gelap yang entah apakah betul-betul bisa melindungi otak mereka dengan baik di terik pagi. Terkejutnya aku, ternyata tamu agung yang sempat kupikirkan tadi, salah satunya adalah aku—seorang pelajar yang baru saja mengantongi ijazah SMP dari daerah antah berantah—dan beberapa orang yang kelihatannya sebaya denganku, tapi jelas terlihat berbeda. Tentu saja, mereka memang pantas kupikirkan sebagai tamu agung—turun dari mobil berplat hitam yang ketika kau buka pintunya, aroma parfum yang menyengat akan seketika melumpuhkan indera penciumanmu selama sepuluh detik.

Aku dan beberapa orang yang sepertinya berasal dari daerah yang sama mulai berjalan meninggalkan gerbang megah. Oh iya, aku baru menyadari itu tepat ketika penciumanku kembali normal setelah beberapa pintu mobil berplat hitam itu memamerkan aromanya. Gapura tinggi berwarna putih dengan ornamen-ornamen yang sederhana, tapi terlihat classy, seakan ingin mewakili segala apa di dalamnya. Pelan, kami menuju sebuah aula besar. Samar-samar kulihat sudah banyak orang yang mengisi kursi-kursi di dalamnya. Perkiraanku lagi-lagi benar. Gapura di depan tadi cukup membuat orang awam bisa menebak bagaimana keadaan di dalam pagar setinggi dua meter yang mengelilingi tanah luas ini. Aula ini mungkin bisa memanjakan seribu pasang mata untuk setiap desain yang bisa dibilang sangat mendetail. Warna dindingnya yang coklat muda seakan menarik garis lurus dengan kusen-kusen jendela besar yang terbuat dari kayu yang kokoh. Langit-langitnya yang tinggi seperti congkak memamerkan adidayanya menaungi kesombongan-kesombongan manusia di bawahnya. Aku cepat saja kembali ke keriuhan setelah sibuk mengamati setiap detail aula ini. Kupilih tempat duduk di samping seorang perempuan berambut pendek. Ia hanya memanfaatkan rambutnya untuk menutupi tengkuknya kupikir. Ia terlihat ramah dibalut wajahnya yang putih.

“Halo…” sapanya halus.

“Hai… tak apa jika aku duduk di sini?” tanyaku yang spontan dijawabnya dengan anggukan sambil menepuk kursi di sebelahnya.

“Aku Rani. Namamu siapa?” kemudian percakapan tak penting mengisi dua jam kami di sela-sela suara entah siapa lewat pengeras suara jauh di depan kami.

Hal yang paling kubenci adalah berjalan melewati ramainya suara. Aku selalu merasa langkahku pincang, pandanganku bekunang-kunang, hingga akhirnya aku serasa mau pingsan. Kali ini pun sama. Aku mengutuk siapapun itu yang mengharuskanku mengambil sesuatu di depan sana. Jarak meja yang kutuju tak cukup seratus langkah, tapi aku merasa telah berjalan sejauh lelah. Ketika berbalik, itu adalah cobaan yang tak lebih sedikit. Menghadapi mata-mata yang seakan memicing, aku bertemu matanya yang bening. Ini mungkin bukan pertama kalinya aku melihat aku di mata seseorang, tapi bagaimana matanya yang jurang menarikku dalam, ini jelas kali pertama. Ia adalah hening yang sempurna, bergeming pasrah di sisi huru hara. Sampai ia tepat di samping kananku, matanya tak hanya berhasil jatuh di pupilku, tapi juga di jantungku.

****

Ia duduk tepat di seberangku. Ia yang kukenal adalah sebuah beku yang lumer lewat debat-debat di dalam kelas. Juga bisu yang biru di jam-jam istirahat. Dan kami adalah pertengkaran soal siapa yang lebih hebat; dalam buku, dalam lagu, dalam guru. Hanya itu.

“Kau akan pulang?” Hanya ada aku di dalam kelas, menghabiskan buku Da Vinci Code yang baru beberapa hari kupinjam dari seorang guru. Tentu ia berbicara padaku. Untuk pertama kali. Untuk sebuah pertanyaan di luar perdebatan tentang pelajaran. Ia berdiri sejarak satu deret kursi di depanku. Tangannya memegang sandaran kursi dengan kuat sampai jarinya memutih, seakan tanpa itu ia akan roboh ke lantai. Matanya tepat menatapku dengan alis yang hampir segaris menunggu jawaban. Bibirnya terkatup rapat seperti menahan kata-kata yang sudah di ujung lidah.

“Iya.” Jawabku pendek. Setelah tiga bulan tanpa komunikasi dengan dunia, aku merasa butuh keramaian keluarga. Tentu saja aku akan menjemput itu. Pulang adalah satu-satunya hal yang penuh di kepalaku, selain ratusan soal matematika yang akan jadi pekerjaan rumah yang benar-benar mengerjaiku.

“Kupikir aku butuh nomor ponselmu. Hanya sekadar jaga-jaga kalau aku butuh bantuan untuk PR Matematika itu.” Ia masih beku di tempatnya. Sama sekali tanpa gerakan, selain bibirnya yang berucap.

“Aku khawatir tak bisa membantumu kali ini. Aku bahkan tak berkeinginan untuk memiliki sebuah ponsel.”

Kulihat ia mengernyit, menarik napas dalam lalu menghempaskannya terburu. Ia berbalik. Dua detik saja. Lalu berbalik lagi, berjalan dengan langkah lebar ke arahku. Tepat di depan mejaku, matanya menatap lantai. Tangannya terjatuh begitu saja di sisi badannya. Aku sedikit bergidik dengan kesunyian ini. Aku merasa mendengar detak jantungku sendiri, atau mungkin juga miliknya, sebab ia terlampau dekat. Tak pernah sedekat ini sebelumnya. Aku sibuk meredakan darah yang naik ke wajahku. Sementara waktu tak sempat kuhitung lagi. Tak ada yang kuharapkan dari kondisi ini, entah sebuah keromantisan atau penyelamatan. Sebab hatiku mulai tak peduli tentang seberapa sesak waktu yang lewat, hanya butuh ini bertahan lebih lama. Ia mengangkat wajahnya. Sekali lagi, aku merasa matanya lancang menelanjangi mataku.

“Aku tak mau merasa sekarat. Berikan saja aku obat. Di mana aku bisa menghubungimu?” Ia berbisik. Aku hampir tak bisa mendengar suaranya. Sementara aku ingin memastikan apa yang sempat ditangkap telingaku itu bukan suara pikiranku saja, aku sudah menulis beberapa angka di kertas paling belakang buku pelajaran yang kurobek sembarang. Ia mengambilnya, lalu berlalu pergi tanpa suara.

****
(to be continued)


“Matamu ialah jurang yang di dalamnya aku rela jatuh.”