Sabtu, 07 Februari 2015

Kaca-Kaca Mata Papi

Aku berharap kau berkata tidak ketika aku membujukmu sebulan lalu, mengantarku untuk menemui teman baru demi oleh-oleh sebuah buku. Kau beri aku waktu menyusuri jalan pikirannya yang ramai, lalu berputar-putar dalam kisah perempuan yang katanya sudah selesai. Kau terlambat membungkam tantanganku padanya. Mengapa kau tak menjemputku lebih cepat?

Aku berharap kau berkata tidak ketika kuminta izinmu ke kota itu, meninggalkan kewajiban sebentar untuk sebuah masa depan yang bisa membuatku mandiri, katamu. Kau beri aku waktu bersua dengan harapan lewat perkenalan singkat di tiga rumah yang berjauhan. Kau terlambat menyuruhku ke pelabuhan. Mengapa kau tak lebih cepat menyuruhku pulang?

Tapi, terima kasih, Papi, untuk tidak berkata tidak. Sebab sepasang paragraf itu yang membawa ia padamu, lelaki yang tadi malam lancang menciptakan kaca-kaca di matamu. Pastilah kau bayangkan aku duduk sebagai sebenar-benarnya perempuan dalam fragmen masa depan di ruang tamu. Beberapa pantulannya sampai di mata lelaki itu, menjadikannya ikrar atasku. Dan subuh tadi, kaca-kaca itu pecah di bahunya sebelum melembabkan sajadahku yang berwarna hijau tua. Apakah kau percaya ia bisa menjagaku lebih baik darimu?

Aku masihlah gadis kecil yang harus kau tegur karena paham yang berbeda dengan adik, yang perlu kau marahi karena membiarkan sepeda kotor seperti tak punya pemilik, yang mesti kau larang melakukan perjalanan berbahaya sendiri. Aku masih kepunyaanmu yang tertidur dengan lampu menyala, tapi mendapati pagi yang sudah gulita. Aku perempuanmu yang masih merengek untuk satu cone eskrim atau menyambutmu pulang dengan menagih oleh-oleh. Aku adalah tanggung jawab yang kau jaga sejak tengah malam itu, lewat kumandang adzan di telingaku. Sebuah tanggung jawab yang menjadikanmu satu-satunya rumah bagiku.

Tapi sebentar lagi, ada yang terpaksa harus jauh dari rumah. Dijemput sepaket musyawarah. Sebuah awal yang memaksa gadis kecilmu bersikap dan bersifat lebih dewasa. Sungguh aku tak meminta apa-apa, selain sebuah acara sederhana. Agar kau tak perlu bersusah dan kami dipermudah. Bukankah kau juga pernah seperti dia? Meskipun, Papi, mungkin kau butuh menebalkan telingamu dan meluaskan sabarmu, melapangkan doa-doa baik naik ke langit. Tak apa, Pi. Lidah memang acap berperang. Tapi biarkan hati mereka saja yang tak tenang.

Entah di bulan ke berapa. Entah di keadaan seperti apa. Doamu saja yang aku butuh untuk mengamini ia yang datang terburu. Percayalah, ini ikhtiar bermodal basmalah dalam sujud yang panjang di istikharah. Tak ada yang ingin ini menjadi luka. Tapi tetaplah Dia yang Maha Tahu, mengqadha dengan benar tentang sepasang makhluk yang berkisah.

Cukuplah satu yang aku ingin kau ingat, Papi. Aku telah mencintaimu jauh lebih dini dari subuh hari. Aku tak berhenti cinta meski pagi terkadang datang begitu letih. Aku masih mencintaimu di terik marah yang membuat mataku perih. Dan aku akan terus mencintaimu sampai malam paling sunyi.

Jumat, 06 Februari 2015

Ruang Tunggu

Lelakiku,

Pagi tak pernah terbit di sini. Malam serupa malaikat pencabut nyawa, berwarna suram dan abadi. Dingin, barangkali tak punya rumah, enggan pergi dari delapan lusin lebih ubin putih. Hanya satu sisi yang bercahaya, meski tetap saja muram dengan coretan rindu di sana-sini, ditimpa sepasang kursi yang terbuat dari anyaman sabar dengan cat cerah berwarna harapan.

Satu kursi sudah dihuni perempuan berjubah biru. Ia duduk setenang danau. Sebisu hutan sehabis hujan. Keramaian hanya dikenal jemarinya yang tak henti henti meneteskan cinta.

Jika kau perhatikan ia, lelakiku, sesungguhnya ia tengah belajar. Sambil memilin kisah yang mengurai resah tentang tubuh yang dipaksa tegar, ia benar-benar belajar tabah; lewat doa yang belum diijabah dari seorang hamba yang patuh, lewat luka parah hati yang berjuang sembuh.

Tapi percayalah, lelakiku. Selelah apapun dirinya bergumul dengan waktu atau dipermainkan janji yang tak berujung temu, ia masih bertahan untuk duduk menunggu.

Kamis, 05 Februari 2015

Sederhananya Kita

Kamu datang,
aku sambut,
kamu meminta,
aku mencoba,
kamu tabah,
aku tinggal,
kamu menetap,
aku tulus,
kamu bosan,
aku pasrah,
kamu meredup,
aku menunggu,
kamu berbalik,
aku sabar,
kamu pergi?
aku diam?

Selasa, 03 Februari 2015

Delapan Gelas Sehari

Dear Fajar,

Malam tak lagi ramah padaku. Kusimpulkan itu sebab kerap dipanggilnya aku bahkan sebelum bumi terbangun dalam minggu minggu ini. Aku sudah lupa bagaimana rupa jam yang berdentang sunyi tiga kali. Seperti aku lupa rasanya dada yang begitu sesak karena rindu yang seperti duri. Tapi aku ingat kau ajarkan aku caramu tenangkan diri. Demikianlah gelas pertamaku tandas.

Aku mencintai pagi, kau tahu itu. Bahkan pagi yang terlalu dini. Tapi pagi tadi aku lebih mencintai pertanyaannya. Begitu cintanya sampai membuat wajahku merah muda. Aku ingat kau ajarkan aku caramu menguasai diri. Entah kenapa, kali ini rasanya lebih manis dari air putih.

Kantor selalu terasa menjengkelkan, kecuali hari sabtu. Detik ke menit, menit ke jam, jam ke jam berikutnya. Sungguh membosankan. Tapi aku menikmati hari ini. Jangan tanya kenapa membacanya marah selalu membuatku tertawa. Itulah mengapa aku butuh lebih dari segelas air, meredakan gelak di antara orang orang galak.

Siang tadi, hujan datang tanpa peringatan. Waktu membeku. Jarum jam tak juga meleleh di angka lima. Kuleburkan dingin yang membiru di ujung-ujung kuku pada segelas hangat. Sampai sore yang muram, aku sadar aku butuh minum lebih dari sekadar ingin. Begitulah ia menyuruhku mengingatnya.

Fajar, aku bahkan belum bisa berhenti merindukannya di gelas keenam. Dan aku tak berharap bisa berhenti sampai di gelas kedelapan malam nanti, atau berjuta gelas setelahnya.

Senin, 02 Februari 2015

Di Satu Sesap Terakhir Kopi yang Getir

Dear Fajar,

Senin kali ini terbuat dari cat abu-abu yang ditumpah sembarang, persis judul buku erotis si penulis inggris. Tapi aku lebih senang menyebutnya senin yang biru seperti baris lagu pertama sebuah band yang juga dari inggris dan memiliki album dengan nama yang juga sedikit erotis. Aku menyukai bagaimana kesedihan berubah nama menjadi warna. Sambil mengira ngira jika kita bukan sekadar hitam dan putih, apa warna kita?

Lebih jauh lagi, aku sungguh ingin tahu apa warna kesibukan. Hal yang kadang kutemui ada di antara banyak alasan dalam perpisahan. Mungkin saja, Fajar, mungkin saja ia berwarna hitam pekat, serupa kopi yang tinggal seteguk sebelum bertemu ampas.

Selain kopi cangkir pertama, aku hanya bisa menamatkan dua gelas air putih. Dan tulisan ini hanya sempat diburu dalam detik yang sedikit lapang ketika sibuk meregang dan kantuk yang tek berhenti menyerang sebab waktu tidur malam tadi yang tak panjang. Tapi, Fajar, di sesap terakhir sebelum kopiku bertemu ampas, aku sungguh sungguh ingin menyapanya. Sekadar bertanya, sudahkah ia menyelamatkan lambungnya hari ini? Sebab rindu begitu buncah ketika senja. Selalu begitu, entah kenapa.

Minggu, 01 Februari 2015

Januari dan Hal-Hal yang Terlalu Dini untuk Selesai

Dear Fajar,

Kau tahu betapa gilanya aku, kan? Rela mengulur waktu demi mendekap Januari lebih lama. Begitulah aku semalam tadi. Terjaga sampai di angka dua, persis sebulan lalu.

Beberapa hal ditakdirkan untuk tak pernah dilahirkan. Mendekam saja dalam rahim-rahim ketidakpastian yang dipelihara kecemasan juga setumpuk pertanyaan. Begitulah aku semalam tadi. Mengekang pernyataan atas nama keegoisan, persis sebulan lalu.

Salahkan aku, Fajar. Untuk semua musim hujan kita, salahkan aku. Ini persis sama sebulan yang lalu. Juga bertahun-tahun yang lewat. Aku menolak mengaku bahkan jika hatiku harus melarat. Sampai akhirnya kau alpa di barisan kotak masuk surat-suratku, aku tahu kita selesai. Tapi, kali ini bantu aku merendahkan hati. Sebab dengannya baru saja dimulai. Aku tak mau menangis terlalu pagi.