Jumat, 06 Februari 2015

Ruang Tunggu

Lelakiku,

Pagi tak pernah terbit di sini. Malam serupa malaikat pencabut nyawa, berwarna suram dan abadi. Dingin, barangkali tak punya rumah, enggan pergi dari delapan lusin lebih ubin putih. Hanya satu sisi yang bercahaya, meski tetap saja muram dengan coretan rindu di sana-sini, ditimpa sepasang kursi yang terbuat dari anyaman sabar dengan cat cerah berwarna harapan.

Satu kursi sudah dihuni perempuan berjubah biru. Ia duduk setenang danau. Sebisu hutan sehabis hujan. Keramaian hanya dikenal jemarinya yang tak henti henti meneteskan cinta.

Jika kau perhatikan ia, lelakiku, sesungguhnya ia tengah belajar. Sambil memilin kisah yang mengurai resah tentang tubuh yang dipaksa tegar, ia benar-benar belajar tabah; lewat doa yang belum diijabah dari seorang hamba yang patuh, lewat luka parah hati yang berjuang sembuh.

Tapi percayalah, lelakiku. Selelah apapun dirinya bergumul dengan waktu atau dipermainkan janji yang tak berujung temu, ia masih bertahan untuk duduk menunggu.

2 komentar: