Senin, 02 Februari 2015

Di Satu Sesap Terakhir Kopi yang Getir

Dear Fajar,

Senin kali ini terbuat dari cat abu-abu yang ditumpah sembarang, persis judul buku erotis si penulis inggris. Tapi aku lebih senang menyebutnya senin yang biru seperti baris lagu pertama sebuah band yang juga dari inggris dan memiliki album dengan nama yang juga sedikit erotis. Aku menyukai bagaimana kesedihan berubah nama menjadi warna. Sambil mengira ngira jika kita bukan sekadar hitam dan putih, apa warna kita?

Lebih jauh lagi, aku sungguh ingin tahu apa warna kesibukan. Hal yang kadang kutemui ada di antara banyak alasan dalam perpisahan. Mungkin saja, Fajar, mungkin saja ia berwarna hitam pekat, serupa kopi yang tinggal seteguk sebelum bertemu ampas.

Selain kopi cangkir pertama, aku hanya bisa menamatkan dua gelas air putih. Dan tulisan ini hanya sempat diburu dalam detik yang sedikit lapang ketika sibuk meregang dan kantuk yang tek berhenti menyerang sebab waktu tidur malam tadi yang tak panjang. Tapi, Fajar, di sesap terakhir sebelum kopiku bertemu ampas, aku sungguh sungguh ingin menyapanya. Sekadar bertanya, sudahkah ia menyelamatkan lambungnya hari ini? Sebab rindu begitu buncah ketika senja. Selalu begitu, entah kenapa.

2 komentar: