Selasa, 03 Februari 2015

Delapan Gelas Sehari

Dear Fajar,

Malam tak lagi ramah padaku. Kusimpulkan itu sebab kerap dipanggilnya aku bahkan sebelum bumi terbangun dalam minggu minggu ini. Aku sudah lupa bagaimana rupa jam yang berdentang sunyi tiga kali. Seperti aku lupa rasanya dada yang begitu sesak karena rindu yang seperti duri. Tapi aku ingat kau ajarkan aku caramu tenangkan diri. Demikianlah gelas pertamaku tandas.

Aku mencintai pagi, kau tahu itu. Bahkan pagi yang terlalu dini. Tapi pagi tadi aku lebih mencintai pertanyaannya. Begitu cintanya sampai membuat wajahku merah muda. Aku ingat kau ajarkan aku caramu menguasai diri. Entah kenapa, kali ini rasanya lebih manis dari air putih.

Kantor selalu terasa menjengkelkan, kecuali hari sabtu. Detik ke menit, menit ke jam, jam ke jam berikutnya. Sungguh membosankan. Tapi aku menikmati hari ini. Jangan tanya kenapa membacanya marah selalu membuatku tertawa. Itulah mengapa aku butuh lebih dari segelas air, meredakan gelak di antara orang orang galak.

Siang tadi, hujan datang tanpa peringatan. Waktu membeku. Jarum jam tak juga meleleh di angka lima. Kuleburkan dingin yang membiru di ujung-ujung kuku pada segelas hangat. Sampai sore yang muram, aku sadar aku butuh minum lebih dari sekadar ingin. Begitulah ia menyuruhku mengingatnya.

Fajar, aku bahkan belum bisa berhenti merindukannya di gelas keenam. Dan aku tak berharap bisa berhenti sampai di gelas kedelapan malam nanti, atau berjuta gelas setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar