Rabu, 09 Oktober 2013

Senja dan Asa yang Menua


Malam baru saja usai. Kutandai itu dengan saru bahana adzan. Aku meringkuk di bawah peluk sarung yang tak pernah cukup hangat. Mungkin sebab itu aku butuh dekap. Angin selalu menemukan cara untuk masuk di sela tepas, menusuk kulit rapuhku lekas. Lenganmu, pada suatu waktu, akan menghempas segala guruh gemetar. Aku mempercayai itu  hingga mendapati kalender meja di samping tempat tidurku yang tak nampak lagi angka-angkanya. Sebentar lagi, pikirku. Setelah tujuh ratus tiga puluh tujuh hari, kalender yang hampir semua angkanya tersilang merah, akan berakhir di tempat sampah. Aku menggeliat, mengusir sisa-sisa lelap yang masih melekat, tapi senyap tetiba merapat begitu dekat, memaksaku mendengar detak jantungku sendiri – detak yang semakin cepat seiring berlalunya detik yang konstan terekam dari jam weker kecil berwarna biru. Di sampingnya, keramik beruang kecil tersenyum menghela bunga. Kubayangkan kau pada hari ini tiba dengan dua puluh dua kuntum kejora. 
Cahaya layar ponselku berlomba dengan ujung lengan-lengan matahari yang mencoba meraihku dari balik tirai jendela. Siapapun pengirim pesan itu, semoga bukan pesan dari operator telepon, keluhku. Yang benar saja, ini masih terlalu pagi untuk merecoki pikiran pelanggannya dengan informasi yang bahkan tidak pernah sempat dibaca. Tapi deretan huruf itu kemudian menarik bibirku. Ia selalu tahu cara membuatku tersenyum di saat-saat yang tak terduga.
Jangan merengut. Pesan ini tidak untuk membangunkanmu, karena harusnya kau sudah bersiap-siap dengan cangkir kopimu :) Aku sedang berada di orbit rotasimu. Temui aku di kafe biasa pukul 10. Dan jangan lupa bawa senyummu. Oh, jangan. Bawa tawamu saja.
*** 
Baru saja pintu kafe menyapa mataku, hujan sudah bebas jatuh. Padahal tadi matahari terlihat senang menantang langit. Tak begitu ramai rupanya. Mungkin karena sekarang sudah terlalu terlambat untuk mendapatkan kopi pertama. Dan jam makan siang sepertinya masih lama. Aku berjalan ke pantry kecil yang memisahkan aku dengan satu-satunya pegawai yang nampak sibuk mengatur entah apa di balik mejanya.
"Selamat… pagi menjelang siang?" sapanya, berusaha ramah dengan sedikit tanda tanya. Ia bergantian menatap aku dan arloji yang menggantung begitu saja di pergelangan tangannya yang kecil. 
"Jam segini, Nona? Aku bahkan tak ingat pernah melihatmu selain ketika matahari telah jatuh. Kau tahu, aku sampai-sampai mengira kau seorang Cullen yang menghisap kopi, " candanya.
Aku bisa melihat lebih banyak barisan gigi putihnya. Biasanya ia hanya tersenyum sopan pada siapapun yang datang.
"Sepertinya aku harus lebih sering ke sini di jam seperti ini. Melihatmu tertawa adalah hal langka rupanya. Tapi bisakah kau sisihkan waktu sibukmu untuk kopiku?”
"Ah, ya. Silakan duduk dulu. Aku sesungguhnya memiliki terlalu banyak waktu untuk sekadar mengantar kopimu ke meja mana pun yang kau suka."
Aku tersenyum. Ia selalu begitu baik. Cepat aku keluarkan dua lembar kertas dari dompetku, lalu berjalan ke sudut itu; tempat favorit. Dari sini, aku bisa leluasa memandang hujan yang sesekali mengecup kaca.
"Kopi keduamu, aku yakin. Minumlah perlahan, dan terima kasih untuk hadirmu di jam yang riuh seperti ini." Ia menyebut kata riuh sambil memutar bola matanya. Lucu.
Aku menunggu sebuah pesan yang bisa meyakinkan aku untuk terus menunggu di sini, sampai sapaan itu sayup jatuh di telinga kiri.
"Adakah yang begitu membuatmu terpikat selain hujan dan senja? Kau tahu, aku mulai cemburu.” Ia merengut sambil menarik kursi di depanku, menghalangi sedikit banyak bulir air yang terperangkap di permukaan kaca.  
Aku pura-pura merajuk, “Kau bisa saja memulai ini dengan menanyakan kabarku, Al.”
Ia tertawa, “Aku tahu kau sedang tak baik. Jadi untuk apa aku bertanya? Aku selalu tahu apapun lebih dari segala yang kau tahu, Nona.”
Kemudian menit selanjutnya bergulir dengan cepat. Aku bahkan lupa menuntaskan cangkir yang sudah tak beruap.
"Kau tahu, sudah lama kita tak tertawa sampai sakit perut. Dan ini pertama kalinya setelah… Ah, iya, bahkan aku lupa sudah berapa lama. Aku bukan ahli menghitung waktu rupanya. Jadi, bagaimana kabarmu?" Ia berbicara dengan sisa sisa tawa di bibirnya.
Aku tersenyum, “Aku baik. Tidak pernah sebaik ini malah. Jadi, berhentilah sok tahu. Sesekali kau harus percaya padaku soal bagaimana aku.”
"Ra, kau tahu kenapa kita tak pernah bisa tertawa lepas sebelum hari ini. Aku selalu percaya pada apa yang kau ucap, tapi tidak jika aku bisa melihat matamu. Ini sudah keterlaluan. Berhentilah, Ra. Ini bukan skenario yang baik untuk hidupmu. "
"Kau tahu aku sangat berbakat pada hal semacam ini, kan? Jika bagimu ini hanya drama murahan, aku tak perlu penonton. Pada saatnya, aku pasti berhenti, Al. Tenang saja. Kita juga akan lebih sering tertawa pada akhirnya," jawabku seraya tersenyum.
Kulihat air mukanya berubah. Aku tak pernah tahu bahwa seseorang yang mungkin saja pernah aku sakiti, telah begitu mengerti tentang sakit, hingga ia bisa mudah menaksir. Dan aku selalu membenci wajahnya yang terlihat getir. Untukku. Kuseruput kopiku yang sudah dingin. Di seberang meja, ia memainkan cangkir kopinya. Sesaat aku menyesal. Jika pembicaraan tadi tak sampai pada hal yang sebenarnya kami berdua sama-sama hindari, pada saat ini kami pasti masih akrab dengan tawa. Segalanya kembali canggung. Di luar, hujan pun masih mendengung. Lagu damai yang tak cukup menyemai ramai cerita yang terlanjur selesai.
 Ia memecah sunyi,”Ra,…?!”
Aku tahu masih ada kata-kata yang menggantung sejarak meja yang menengahi kami. Pada akhirnya ia hanya tersenyum. Menunda segala apa yang sudah sampai di ujung lidahnya, sebelum ia telan kembali tersembunyi di tumpukan waktu yang semakin entah. Aku tidak sepenuhnya sadar, sampai kulihat punggungnya tepat membelakangi pintu kafe. Tapi aku sadar, ada yang pelan-pelan menggenang hingga membuat ia terlihat semakin buram.
Aku membatin, “Aku tidak baik, Al. Kabarku tidak baik.”
*** 
Kota sedang betul-betul terjaga. Di sana-sini, kendaraan terbatuk-batuk menggerus sisa-sisa genangan yang tak menguap juga. Padahal matahari sudah cukup lama siaga. Memaksa beberapa orang mempertahankan payung di puncak kepala. Seiring lagu yang bergantian mengisi udara, tak terasa ke barat matahari semakin mengarah. Sedari tadi, bergantian orang-orang mengisi sisa kursi. Sementara aku belum beranjak dari cangkir yang menemani sejak pagi. Sepertinya ini bukan suatu masalah jika melihat banyaknya senyum dari pegawai yang sekadar lewat.
Kulirik jam yang menempel di dinding seberang, sudah hampir senja rupanya. Aku beranjak, meninggalkan ampas kopi yang tak nampak. Di luar, udara masih terasa panas, meski dalam perjalanannya, matahari sering meniduri awan. Aku mengikutinya pelan sembari mencoba merangkai sapaan. Kadang aku merasa ini akan seperti pertemuan pertama, menjaga rindu biar tak terlalu kentara. Atau aku berdiam saja di rumah, menyeruput kopi ketiga atau keempat sembari sesekali mendongak ke jalan. Ia pasti tahu harus mencariku ke mana jika tak ditemukannya aku di dermaga. Tapi, bukankah janji adalah apa yang selama ini ingin aku amini? Dan tetiba saja aku sudah sampai di sini. Dermaga kayu tua ini nampak lapuk. Aku membayangkan seberapa ia menahan remuk untuk setiap harapan yang enggan redup. Semakin hari, aku mencintai setiap goresan-goresan kayu yang mulai akrab dengan tanganku. Mereka mungkin senang disapa, meski harus berdarah bergesekan dengan kulitku yang kian papa. 
Horison yang tadi membiru mulai digayungi jingga. Sebentar lagi, pikirku. Masih terbayang sahabatku memintaku berhenti, tapi aku bergeming di sela udara yang hening. Kutajamkan telingaku, mencoba menusuk jejak yang akan tergeletak di belakang. Dadaku mulai sesak. Sementara matahari tinggal mengintip merangkak mencari perlindungan. Cakrawala seketika begitu luas. Di batas langit matahari akhirnya jatuh. Dan mimpiku ikut terbunuh.
Tak ada orang lain di sini. Aku menjaga pandangan di titik jauh maksimum yang bisa kuraih. Sementara adzan lamat terdengar, tubuhku mulai gemetar.
  
2007
"Dua tahun, Sayang. Bisakah kau bersabar? Aku akan datang segera, menemanimu menatap senja. Di sini, di dermaga kayu tua ini."

2009
Aku masih di tanggal yang sama, melingkari harapan di kalender pertama. Untuknya, aku menantang sabar. Dan menang dengan tegar. Ia mungkin masih harus menyelesaikan apapun itu di sana. Dua tahun, katanya. Kemudian aku mengambil kalender baru. Kalender kedua untuk janji dua tahun lalu.

2013
Ia memecah sunyi,”Ra,…?!”
“…”
“Tidakkah kau pikir janji pun bisa menua, lalu mati? Sementara kau begitu gigih, melawan waktu yang mungkin saja sudah letih. Dan selama rentang gemingmu, aku terlihat lebih bodoh sebab mencintamu.”

Samar kukumpulkan ingatan pada setiap ejaannya yang terbata. Sahabatku… ia sudah begitu sakit, bahkan untuk menyakitiku lewat kata. Sementara aku masih menunggu kekasihku. Tidak, bukan karena aku gigih, pun tak letih. Hati ini semakin ringkih untuk sekadar hidup demi mimpi. Tapi, aku tak tega menjadikan ia seorang yang ingkar pada ucapnya. Atau, aku masih buta cara untuk tak setia. Lagipula, bukankah senja tak kan pernah menua?